“Dengan matinya nalar, maka proses berpikir kita akan rusak dan sulit mengambil keputusan-keputusan yang objektif,” kata Anita Wahid dalam keterangannya, Minggu.
Anita menyampaikan topik “Membentuk dan Membangun Kemampuan untuk Filtrasi Informasi di Era Post Truth dan Hyper Reality”.
Menurut Anita ada dua kelompok emosi yang mudah dipengaruhi hoaks. Pertama, emosi yang muncul ketika merasa ada ancaman terhadap keselamatan dan keamanan suatu individu, seperti hoaks tentang kesehatan, bencana alam, atau kriminalitas. Kedua, emosi yang muncul ketika merasa ada ancaman terhadap identitas seseorang, seperti hoaks tentang politik, agama, etnisitas, maupun ideologi.
Berita hoaks pada akhirnya akan menimbulkan rasa curiga, tidak percaya, marah ataupun benci terhadap kelompok tertentu. Jika seseorang sudah terpengaruh hoaks, maka individu tersebut akan mudah dan rentan untuk melakukan dikotomi atau polarisasi, yaitu pengelompokan pemikiran yang saling bertentangan.
Efek kacamata tribal (kesukuan) akan menghasilkan pemikiran bahwa hal yang kelompok tersebut lakukan adalah karena kecintaan terhadap bangsa dan negara, tanpa menyadari telah menjadi alat untuk kepentingan kelompok tertentu.
“Akibatnya, labelling, stigma, menjadi gampang untuk disematkan kepada kelompok tertentu hanya karena pandangan yang berbeda, fakta dan data menjadi tidak relevan. Inilah apa yang dinamakan era post-truth di mana kebenaran hanyalah apa yang sesuai dengan kepentingan kelompok atau pemikiran kita, bukan lagi berdasar kepada fakta dan data. Terjebak pada ruang pemikiran sendiri, melihat segala sesuatu dengan kacamata kuda,” katanya.
Bagi sebuah bangsa, hoaks menjadi sesuatu yang berbahaya. Ia bisa membawa pengaruh disintegrasi, cepat atau lambat. Untuk menghadapi dampak buruk tersebut, masing-masing individu harus memiliki berbagai kompetensi supaya tidak termakan hoaks. Kompetensi yang dimaksud meliputi digital skills, digital culture, digital ethics, digital safety, dan yang paling penting adalah kemampuan berpikir kritis.
Berpikir kritis adalah sebuah proses yang komponen utamanya adalah mengecek fakta yang dianggap benar. Selain itu, untuk mencapai kemampuan ini sebelumnya harus mengecek logika atau proses dalam berpikir. Berpikir kritis tidak hanya menyangkut informasi yang diterima, tetapi juga melibatkan diri dalam proses reflektif dan berpikir independen.
Anita menyampaikan tentang penggunaan nilai-nilai inti sebagai sarana mengkaji informasi yang ada di sekitar. “Nilai-nilai itu bebas ditentukan. Saya sebagai salah seorang anak dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden keempat Indonesia, menggunakan sembilan nilai utama Gus Dur sebagai tolok ukur keteladanan,” katanya.
Ia melanjutkan nilai-nilai tersebut adalah nilai ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan, dan kearifan lokal.” Dengan memiliki dan mengamalkan nilai-nilai tersebut, diharapkan bisa menjadi panduan dalam derasnya informasi yang beredar luas saat ini. (na/den)
Discussion about this post