OPINI | WALIMEDIA – Fenomena bahan pangan langka dan mahal bukan kali pertama di negeri ini, termasuk Provinsi Jawa Barat. Acap kali masyarakat dikhawatirkan dengan langkanya minyak goreng, pedasnya harga cabai, tingginya harga kedelai dan kali ini mahalnya harga beras.
Di saat bahan pangan langka dan mahal, selalu terjadi momen yang membuat miris. Antrean panjang masyarakat yang ingin membeli bahan pangan tersebut selalu terjadi, kadang diwarnai dengan para ibu yang pingsan karena kelelahan. Atau momen saling berebut sesama pembeli karena takut kehabisan.
Inilah ironi di negeri ini yang kaya akan sumber daya alam, seperti dalam lirik lagu jaman dulu ” tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman “, itulah tanah air tercinta kita. Lalu apa yang salah dengan negeri ini, hingga sumber daya alam yang melimpah ruah tidak bisa dinikmati masyarakat?
Terlebih, hampir di setiap masyarakat ada pada kondisi sulit, solusi yang ditawarkan para pemangku kepentingan tidaklah memuaskan. Masih berkutat pada penggantian bahan lain sebagai alternatif dari bahan pangan yang tengah langka dan mahal. Misal , ketika salah satu pejabat menyarankan agar masyarakat makan 2 pisang saja daripada makan nasi. Atau mulai beralih ke sukun dan ubi daripada menkonsumsi nasi. Padahal, tentu saja jika solusi praktis seperti itu masyarakat pun sudah lebih dahulu memikirkannya.
Masyarakat tentunya butuh solusi tuntas dari pemangku kebijakan sebagai penanggung jawab semua urusan rakyat, bukan solusi tambah sulam yang tidak menyolusi. Kemandirian pangan adalah hal yang mutlak harus dilakukan agar fenomena kelangkaan bahan pangan tidak selalu berulang.
Tantantangannya adalah mampukah negeri ini mewujudkan kemandirian pangan.Jika ingin menyelesaikan masalah pangan, pemerintah perlu optimal mengambil kebijakan. Tidak hanya melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian, melainkan juga memotong panjangnya rantai distribusi.
Pemerintah harus mampu mengendalikan para oligarki yang bermain demi keuntungan pribadi dan wajib menghapus aktivitas penimbunan.
Seluruh upaya tersebut tidak dapat dilakukan, kecuali dengan aturan tegas. Pemerintah perlu memberikan sanksi yang dapat membuat jera. Aturan seperti ini hanya dapat dilakukan oleh pemegang kebijakan yang tidak mudah dibeli dengan uang/materi.
Mereka adalah orang-orang yang memahami amanahnya dan yakin jabatan di pundaknya kelak akan diminta pertanggungjawaban. Orang-orang yang seperti ini akan memaksimalkan potensinya untuk mengurusi masyarakat.
Islam memandang betapa pentingnya kualitas SDM. Alhasil, perlu upaya sungguh-sungguh untuk membentuk hal itu. Tersebab pangan adalah salah satu unsur yang berperan dalam pembentukan SDM ini, perlu untuk meningkatkan ketahanan pangan.
Dalam Islam, sistem pemerintahan Islam yang terpusat pada akidah Islam akan melahirkan kebijakan yang sesuai dengan pandangan Islam, bukan pada individu, apalagi oligarki. Sistem ekonomi Islam akan mengatur masalah produksi pangan (ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian), distribusi (kecurangan, praktik ritel, dll.), hingga konsumsi.
Sistem keuangan Islam akan mengelola penghasilan negara (kharaj, ganimah, fai, jizyah, pengelolaan SDA) untuk keperluan masyarakat, terutama ketahanan pangan. Sistem sanksi Islam juga akan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melakukan kecurangan.
Adapun sistem Islam dalam mewujudkan ketahanan atau kemandirian pangan di antaranya adalah sebagai berikut :
Pertama, Islam akan mengatur masalah lahan pertanian. Negara harus menjamin ketersediaan lahan pertanian dan tidak boleh mengizinkan lahan subur mengalami alih fungsi lahan. Negara juga tidak akan membiarkan lahan pertanian mati (tidak digarap pemiliknya).
Jika terjadi demikian, negara akan mengambilnya dan memberikan kepada orang yang mampu mengelolanya.
Kebijakan ini diterapkan berdasar hadis Rasulullah saw., “Orang yang memagari tanah, tidak berhak lagi (atas tanah tersebut) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun.”
Kedua, negara akan membuat kebijakan industri berbasis industri berat. Politik industri mengarah pada kemandirian industri dengan membangun alat-alat produksi sehingga dapat menopang teknologi untuk pertanian secara mandiri.
Ketiga, negara perlu memiliki kemandirian riset. Riset pangan dan teknologi dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan yang akan dimanfaatkan masyarakat, bukan untuk bisnis atau keuntungan oligarki.
Keempat, seluruh kebijakan di atas perlu anggaran. Anggaran dalam Islam berasal dari baitulmal yang telah diatur sesuai dengan syariat Islam.
Kelima, negara mengatur distribusi pangan. Setidaknya ada dua cara, yaitu mekanisme harga dan nonharga. Mekanisme harga maksudnya adalah negara memastikan harga pangan di pasar stabil dan terjangkau.
Negara akan melakukan pengawasan pasar hingga tidak terjadi penimbunan barang, kartel, penipuan, dsb. Saat negara menemui ketidakseimbangan penawaran dan permintaan, negara mengambil langkah intervensi pasar, seperti menyuplai barang yang langka.
Khusus untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, negara akan mengeluarkan kebijakan nonharga. Negara akan memenuhi seluruh kebutuhan pokok selama mereka kesulitan bekerja, semisal karena sakit atau cacat.
Apabila seluruh aturan berjalan baik, negara dapat menjamin ketahanan pangan untuk rakyatnya. Hal ini tidak bisa dilakukan, kecuali negara mengambil Islam sebagai ideologinya, bukan kapitalisme yang lebih mementingkan para kapitalis. Jadi, jika ingin ketahanan pangan tidak sekadar angan-angan, kaum muslim wajib kembali kepada sistem Islam.
Ditulis oleh : Lilis Suryani ( Pegiat Literasi)
Discussion about this post