OPINI | WALIMEDIA – Aksi perundungan apapun bentuknya tentu tidak bisa dianggap main-main. Terlebih jika sudah berdampak pada trauma mendalam si korban, akibatnya bisa fatal bukan hanya terganggu secara mental dan emosional namun juga bisa merenggut nyawa para korban perundungan.
Apalagi jika aksi perundungan sudah sedemikian parah hingga mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Harusnya ini menjadi perhatian banyak pihak untuk segera menuntaskan problem perundungan yang sudah menggejala terutama pada kalangan remaja dan generasi muda.
Seperti yang terjadi pada kasus perundungan di Indramayu. Hingga viral ke tengah publik korban dan pelaku perundungan yang ternyata masih siswa kelas 5 SDN 3 Karangsong. Kejadian itu terjadi pada Sabtu (24/2/2024) lalu, bahkan mirisnya terjadi saat jam pelajaran olahraga.
Aksi bulying di berbagai jenjang pendidikan ini semakin hari semakin mengkhawatirkan, bahkan diluar nalar. Semua pihak terkait pun sudah berusaha menyelesaikan persoalan bulying ini agar tidak terulang. Namun faktanya aksi tidak beradab ini semakin marak terjadi.
Diakui atau tidak kehidupan kapitalisme sekuler, perlahan, tetapi pasti telah menggiring generasi kita makin jauh dari profil mulia. Orientasi hidup tidak lagi bersandar pada agama (Islam). Tujuan hidup hanya untuk mencari kesenangan dunia.
Bahkan, perilaku merundung menjadi kebiasaan yang membudaya. Aksi perploncoan siswa senior terhadap juniornya seakan sebagai tindakan yang “wajib” dilalui junior agar dapat diakui sebagai siswa sekolah tersebut. Inilah dampak buruk penerapan sistem sekuler yang menjadi asas bagi kurikulum pendiidikan hari ini.
Generasi menjadi labil, materialistis, hedonis, dan minus adab serta akhlak yang baik. Saking parahnya, peserta didik dengan karakter dan kepribadian yang baik benar-benar langka dan minim jumlahnya.
Generasi kita sudah terlalu jauh melewati ambang batas perilaku jahat. Pengawasan sekolah dan orang tua yang minim menambah parahnya perilaku mereka. Tanpa kita sadari, tiba-tiba mereka sudah tumbuh besar dan tenggelam dalam arus sekularisasi yang kian deras. Pun dengan negara yang gagal melindungi generasi dari budaya sekuler, seperti pacaran, perzinaan, tawuran, aksi gagah-gagahan antar siswa yang memicu terbentuknya geng di sekolah, pergaulan bebas, perundungan, flexing dan sebagainya. Perangkat hukum dan regulasi yang ada belum memiliki efek jera bagi pelaku sehingga tidak mampu mencegah kriminalitas di lingkungan sekolah.
Lalu bagaimana pandangan Islam menyelesaikan fenomena bullying ini ?
Jika sekularisme telah gagal mewujudkan generasi yang berkepribadian baik, maka Islam memiliki sejumlah tata cara dalam rangka melahirkan generasi cerdas dan bertakwa.
Pertama, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Porsi Islam dalam pendidikan harus banyak dan berpengaruh, bukan sebagai pelengkap materi ajar semata. Sistem ini tidak akan berjalan tanpa sistem politik ekonomi yang berdasarkan syariat Islam. Dengan politik ekonomi Islam, negara dapat membangun fasilitas dan sarana memadai yang dapat menunjang kegiatan KBM di sekolah.
Kedua, kontrol dan pengawasan masyarakat dengan dakwah amar nahi mungkar. Jika peran masyarakat berfungsi optimal, tidak akan ada kemaksiatan atau pelanggaran yang ditoleransi karena masyarakat membiasakan diri untuk peduli dan saling menasihati.
Ketiga, fungsi negara sebagai penjaga dan pelindung generasi dari berbagai kerusakan harus menyeluruh. Negara harus melarang segala hal yang merusak, seperti tontonan berbau sekuler dan liberal, media porno, dan kemaksiatan lainnya. Negara akan memberlakukan sanksi berdasarkan syariat Islam. Negara adalah penyelenggara pendidikan. Tidak boleh ada kepentingan bisnis dalam menyelenggarakan sistem pendidikan. Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan gratis dan berkualitas.
Keempat, negara memberlakukan sanksi tegas bagi para pelaku kejahatan. Dalam Islam, pelaku bisa diberikan sanksi ketika ia sudah memasuki usia balig karena mereka sudah tertaklif (terbebani) syariat Islam, bukan berdasarkan batas usia yang ditetapkan manusia. Salah satu yang membuat generasi “kriminal” bermunculan adalah karena penetapan label “anak di bawah umur” yang seolah menjadi dalih bahwa sanksi bisa ditangguhkan, disesuaikan, bahkan dikurangi.
Dalam pandangan Islam, anak harus diberikan pemahaman dan pendidikan bahwa setelah mencapai usia balig, mereka akan menanggung segala konsekuensi akibat perbuatan mereka, termasuk jika menjadi pelaku perundungan atau kejahatan lainnya. Orang tua juga akan diberi sanksi karena gagal mendidik anak-anaknya dengan baik.
Demikianlah, selama berabad-abad sistem Islam mampu melindungi generasi dari kerusakan moral. Kejahatan juga sangat minim terjadi. Sebabnya, tiga pilar strategis, yakni orang tua, masyarakat, dan negara memiliki satu visi yang sama, yakni membentuk generasi bertakwa dan berkepribadian mulia.
Ditulis oleh : Lilis Suryani
Discussion about this post