OPINI | WALIMEDIA – Tidak bisa dipungkiri bahwa bumi ini telah tua renta, kerusakan alam dan lingkungan pun terpampang nyata dihadapan. Belum lagi perubahan iklim dan cuaca ekstrem yang kerap terjadi menjadi hal yang harus dipikirkan bersama.
Karena jika tidak segera diperbaiki bumi ini lambat laun tentu akan sampai pada titik krusialnya bahkan hingga pada tahap kehancuran alam semesta.
Akhirnya berbagai upaya pun mulai dilakukan untuk memperbaiki keadaan, diketahui Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat terus mengembangkan penerapan Energi Baru Terbarukan (EBT) di kawasan wisata melalui program Eco Green Tourism, salah satunya di Green Canyon, Kabupaten Pangandaran.
Langkah ini disebut-sebut sebagai komitmen Pemerintah Indonesia menuju target Net Zero Emission, yakni mencapai net zero emisi pada tahun 2060. Karena seperti diketahui emisi karbon adalah penyebab utama perubahan iklim global.
Meskipun upaya apapun patut dicoba demi menyelamatkan bumi dan semua makhluk hidup, namun track record dari program-program sebelumnya membuat pesimis, akankah program kali ini benar-benar akan berhasil, atau justru ada kepentingan segelintir pihak dibalik program tersebut?
Jika kita telisik terkait perubahan iklim, para ahli sepakat hal tersebut berkaitan erat dengan industrialisasi. Industrialisasilah yang mengakibatkan pembakaran bahan bakar fosil secara berlebihan hingga akhirnya meningkatkan fenomena yang disebut efek rumah kaca.
Melihat data European Commission, total emisi gas rumah kaca global mencapai 53,79 gigaton setara karbon dioksida (Gt CO₂e). Jumlah tersebut meningkat 1,4 dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 53,06 Gt CO₂e. Indonesia menempati urutan ketujuh dengan emisi gas rumah kaca sebesar 1,24 Gt CO₂e.
Lalu berhubungungan dengan Eco Green , yang mengklaim akan nol emisi karbon dengan beralih pada energi baru terbarukan tidaklah benar-benar efektif. Misal, implementasi dari Eco Green Tourism yaitu dengan mendirikan Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) dan pemakaian kompor induksi dalam mendukung electrifying lifestyle di lingkungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Sementara alat-alat listrik yang digadang-gadang menjadi ikon Eco Green menggunakan baterai sebagai sumber energi. Dan sebagaimana diketahui bahan baku pembuatan baterai salah satunya adalah nikel.
Pada tataran realitasnya sungguh berkebalikan dengan konsep ekonomi hijau/ Eco Green. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengungkapkan fakta kerusakan lingkungan akibat hilirisasi industri nikel di Maluku Utara. Manajer Advokasi Tambang Walhi Maluku Utara Mubaliq Tomagola menyatakan bahwa proyek strategis nasional (PSN) tersebut secara langsung membuat sungai-sungai hancur.
Sampai sini dapat kita pahami, alih-alih berupaya ingin menyelamatkan bumi melalui pemanfaatan energi terbarukan yang terjadi justru sebaliknya. Dan kondisi seperti ini memang lazim terjadi dalam sistem kapitalisme karena karakter dasar kapitalisme yang menjadikan manfaat dan keuntungan materi sebagai tujuan pembangunan.
Akibatnya, program-program energi terbarukan sebenarnya hanya menguntungkan segelintir oligarki, sementara rakyat dan alam dijadikan tumbal.
Lalu, adakah pemanfaatan energi yang benar-benar bisa mensejahterakan rakyat sekaligus juga tidak merusak lingkungan ?
Maka jawabannya ada pada Islam, syariat Islam menetapkan bahwa sumber daya energi adalah milik umat Islam secara umum (milkiyyah ‘ammah). Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, [yakni] air, api, dan padang gembala.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
“Api” dalam hadis ini dikiaskan sebagai sumber daya yang menghasilkan kalor, termasuk energi fosil, terbarukan, maupun nuklir. Seluruh sumber energi ini menjadi milkiyyah ‘ammah karena dibutuhkan bersama oleh seluruh lapisan masyarakat. Khususnya pada abad 21, ketika energi telah menjadi kebutuhan pokok di tengah peradaban yang sangat haus dan tergantung pada suplai energi secara konstan.
Status milkiyyah ‘ammah ini meniscayakan bahwa sumber energi apapun haram dimiliki oleh swasta, mengingat penguasaan oleh swasta menghalangi umat dari mendapatkan haknya. Dari sini, wajib bagi negara untuk mengelola SDA energi sebagai wakil dari umat selaku pemilik asli dari SDA tersebut. Swasta, jika dilibatkan, hanya berperan sebagai ‘ajir untuk menyediakan jasa eksplorasi, penggalian, lifting, dan sebagainya; bukan sebagai pemilik dan pengelola penuh.
Dengan demikian, seluruh kapasitas produksi migas harus pertama-tama dikelola sepenuhnya oleh negara (dengan bantuan swasta jika diperlukan sebatas penyedia jasa), baru kemudian didistribusikan ke masyarakat. Kewajiban ini juga selaras dengan taklif syarak terhadap penguasa umat Islam.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah pengurus dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.” (Muttafaq ‘alaih).
Selain itu, dalam Islam menegaskan pemahaman bahwa umat Islam harus menjadi rahmat bagi alam semesta. Allah Swt. berfirman, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).
Berdasarkan ayat ini, pembangunan termasuk pengadaan sumber energi terbarukan ditujukan untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Artinya, pembangunan harus membawa kebaikan bagi manusia maupun alam semesta.
Dengan demikian, Islam mengharamkan pembangunan yang eksploitatif hingga merusak hutan dan sungai, berikut satwa yang ada di dalamnya, serta merusak kehidupan manusia.
Oleh : Lilis Suryani
Discussion about this post