BANDUNG, walimedia.com – Sebelum memasuki musim hujan, Pemkot Bandung telah mengambil langkah-langkah preventif terhadap bencana hidrometeorologi.
Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Bandung telah menginisiasi Gerakan Mapag Hujan pada 9-31 Oktober 2019 lalu. Hasilnya, 4.000 meter kubik sedimentasi terangkat dari sungai dan drainase.
Kepala DPU Kota Bandung Didi Ruswandi menuturkan, upaya tersebut penting untuk mempersiapkan saluran air seperti sungai agar bisa dilalui air dengan lancar. Kendati demikian, gerakan membersihkan sedimentasi itu bukanlah solusi utama, melainkan aksi jangka pendek saja.
“Karena ketika hujan datang, aliran air itu membawa sedimen dan sampah baru. Jadi gerakan membersihkan sungai dan drainase ini akan terus dilakukan setiap hari,” ujar Didi di Balai Kota Bandung, Rabu (13/11/2019).
Selain pengangkatan sedimen, Didi juga memastikan infrastruktur pengairan berfungsi dengan baik. Tol-tol air dan kolam-kolam retensi sudah siap aktif jika debit air sungai tiba-tiba naik karena tingginya curah hujan. Ada tiga tol air yang dimiliki oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung. Dua buah di Jalan Soekarno Hatta yang dilengkapi pompa dan satu buah di Pagarsih yang dikenal dengan basemen air.
Selain itu, ada delapan kolam retensi yang siap menjadi lahan parkir air di beberapa titik. Yaitu kolam retensi Rancabolang Gedebage, Cisurupan, Cikiley, Sirnaraga, Sarimas, Taman Lansia, dan di dalam Kantor Dinas Perhubungan Kota Bandung. Selain itu ada pula kolam retensi di Masjid Terapung Gedebage milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Tak hanya itu, Kota Bandung juga telah memiliki 13 rumah pompa yang disimpan di tempat-tempat potensial tergenang ‘cileuncang’. Rumah pompa yang selalu dijaga oleh petugas itu akan melakukan penyedotan air dan dialirkan lebih cepat ke sungai-sungai yang debit airnya lebih aman.
Di samping langkah preventif, Didi juga melakukan langkah antisipatif dengan menyiapkan material jika sewaktu-waktu terjadi tanah longsor di Kota Bandung. Material seperti batu, pasir, semen, hingga karung dan geobag telah siap digunakan jika terjadi bencana.
“Kita sudah stok material kalau misal ada longsor dan sebagainya. Itu senilai Rp2 miliar. Batu, semen dan pasir sudah stand by, karung masih banyak. Sekarang sedang proses pengadaan geobag,” ungkap Didi.
Geobag adalah sejenis kantong seperti karung dengan bahan yang lebih tahan lama dan kuat untuk diaplikasikan sebagai proteksi sempadan sungai atau abrasi pantai. Geobag memiliki struktur yang lebih kuat serta mampu menahan dinding sungai secara lebih alami.
“Geobag seperti karung tapi kuat, bukan sementara lagi, tetapi permanen. Ke depan dinding sungai lebih natural karena dari dalam geobag bisa tumbuh rumput. Isinya tanah tapi lebih kuat, ada interlock, jadi lebih kuat ketimbang karung. Kalau karung ada lapuknya, kalau ini bisa tahan sampai puluhan tahun,” beber Didi.
Tak sekadar menyiapkan solusi jangka pendek, Didi juga terus berupaya agar solusi jangka panjang bisa dihadirkan. Menurutnya, ada tiga formula yang bisa menyelesaikan persoalan lingkungan yang selama ini menerpa Kota Bandung.
“Lahan terbuka tanpa vegetasi, daerah terbangun tanpa resapan, dan penyampahan. Itu masalah banjir. Jadi kalau sudah tidak nyampah, di atas tidak ada lahan kritis, semua hijau, di setiap rumah ada drumpori, insyaallah beres. Logikanya mah ada hukum alam kalau 70% sudah diresapkan itu tidak akan terjadi banjir,” papar mantan Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung itu.
Didi mengutip pernyataan pakar hidrologi Institut Teknologi Bandung, Muslim Muin yang menyatakan bahwa cekungan Bandung—yang terdiri dari beberapa kabupaten dan kota di sekitar Bandung—setidaknya memerlukan 1000 ha waduk untuk bisa memangkas debit air agar tidak terjadi banjir, terutama di Bandung Selatan. Namun, waduk seluas itu akan sulit dan mahal untuk diwujudkan.
“Cekungan Bandung itu butuh 1000 hektar waduk. Itu kendalanya kalaupun lahannya ada, uangnya tidak ada. Makanya yang paling efektif itu sumur resapan. Pasang drumpori karena itu menambah resapan juga,” imbuhnya.
Oleh karena itu, kini ia sangat gencar mengampanyekan agar warga membuat drumpori di halaman rumah atau wilayahnya masing-masing. Semakin banyak drumpori, semakin banyak media resapan air di perkotaan sehingga air akan tercadangkan dan tak langsung memenuhi sungai.
“Jangka panjangnya mau tidak mau harus menghijaukan daerah hulu supaya sedimennya berkurang. Kedua, mengubah perilaku sampah. Perubahan culture set. Jika semua orang sudah sadar akan pentingnya membuat drumpori, menanam pohon, dan tidak membuang sampah ke sungai, tidak akan lagi ada banjir,” tegasnya.
“Makanya kenapa kita menanam pohon yang di atas (Kawasan Bandung Utara), salah satunya untuk mengurangi sedimen dan mengurangi debit air di sungai,” imbuhnya.(noe)
Discussion about this post