BANDUNG, walimedia.com — Pungutan liar alias pungli merupakan tindakan koruptif yang dianggap menyalahi norma dan aturan hukum. Praktik melawan hukum ini bisa dilakukan oleh oknum yang memiliki kewenangan atau kekuasaan dengan pelbagai macam motif dan modus.
Terdapat sejumlah varian makna yang kerap digunakan untuk menjelaskan perilaku pungli. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan pungli sebagai perilaku meminta sesuatu (uang dan sebagainya) kepada seseorang (lembaga, perusahaan, dan sebagainya) tanpa menurut peraturan yang lazim.
Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung (Kejagung) Widyo Pramono dalam sebuah workshop bertajuk Delik Pungutan Liar dalam Layanan Publik mendefinisikan pungli sebagai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau pegawai negeri atau pejabat negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut.
Berdasarkan sektornya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebutkan terdapat tujuh bidang yang dianggap paling rentan disusupi praktik pungli, antara lain sektor perizinan, pendidikan, hibah dan bantuan sosial (bansos), kepegawaian, dana desa, pengadaan barang dan jasa serta peradilan. Sektor perizinan dan hibah bantuan sosial yang paling rawan pungli karena langsung bersentuhan dengan publik.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencegah dan meminimalisir praktik ilegal ini. Secara legal-formal, pemerintah telah menyediakan seperangkat instrumen hukum yang bisa digunakan untuk mencegat dan menjerat para pelaku pungli. Cukup sering pemerintah mengeluarkan produk hukum untuk memberantas pungli, di antaranya melalui sejumlah pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, serta UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) sebagai penguatan bukti komitmen pemberantasan pungli. Selaku penanggung jawab Operasi Pemberantasan Pungutan Liar (OPP) Satgas Saber Pungli, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia, Wiranto mengatakan upaya yang ditempuh pemerintah untuk menekan pungli ini bukan perkara main-main.
“Kita tidak main-main. Presiden sudah mengatakan hati-hati, jangan main-main dengan masalah ini. Ketahuan, tangkap, pecat,” kata Wiranto. Menurutnya, operasi pemberantasan pungli ini memerlukan proses dan bantuan proaktif dari masyarakat untuk memberikan informasi yang diperlukan satgas.
Pembentukan Satgas Saber Pungli ini merupakan langkah serius pemerintah untuk memperpendek umur budaya pungli. Sebagai bukti komitmen, Sekretaris Kabinet, Pramono Anung dalam keterangannya juga sempat mengisyaratkan pemberantasan praktik koruptif ini tidak dilakukan secara tebang pilih.
“Presiden menyampaikan pesan yang sangat kuat bahwa saber pungli ini jangan hanya mengejar yang di luar, tetapi juga ke dalam. Karena unsur yang terlibat di dalamnya seperti kepolisian, kejaksaan, Kemendagri, maka tentunya juga harus berani untuk membersihkan ke dalam,” kata Pramono.
Kinerja Satgas Saber Pungli ini diaharapkan bisa menjadi ujung tombak dalam membasi praktik pungli. Harapan ini bisa terbayar melalui rapor kinerja cemerlang yang mereka tunjukkan. Selama dua bulan awal bertugas, sejak awal dibentuk via penerbitan Perpres pada Oktober 2016, Satgas Saber Pungli langsung menerima 22 ribu lebih laporan publik yang disampaikan baik lewat website, SMS, maupun secara langsung melalui call center. Mereka juga melakukan 81 operasi tangkap tangan (OTT) di berbagai instansi pemerintah, terutama yang menyangkut pelayanan publik.
Selama 2017, tim yang terdiri dari unsur kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ombudsman Republik Indonesia, Badan Intelijen Nasional (BIN), dan Polisi Militer TNI ini melakukan 1.201 OTT di berbagai wilayah di Indonesia dengan jumlah tersangka 2.426 orang. Barang bukti yang diamankan mencapai Rp315,6 miliar.
Langkah kultural dalam meminimalisir potensi juga pungli perlu dilakukan lewat upaya pencegahan termasuk di antaranya dengan menempuh jalan perbaikan sistem dan penguatan pada sistem pengendalian internal suatu lembaga. Perilaku korup tak cuma bisa diredam melalui pendekatan hukum legal-formal yang berpotensi mandek lantaran berkaitan dengan hal ihwal yang bersifat positif.
Tanpa kelengkapan alat bukti yang positif dan terukur misalnya, seseorang tak bisa mengharapkan laporan dugaan koruptif bakal ditindaklanjuti secara serius. Kemampuan penegak hukum dalam mengawasi potensi dan tindakan korup pun cukup terbatas. Sederhananya, tak semua praktik korup bisa dijerat melalui lembaga penegak hukum.
Kacamata kultural tak bisa tidak harus digunakan. Sebabnya aspek-aspek politik-legal-kultural juga memegang peranan penting dalam membentuk perilaku koruptif di masyarakat. Di luar maksim bernada moralis yang memandang suburnya korupsi dikondisikan oleh bengkoknya moralitas individu pelaku, situasi sosial masyarakat yang mengintervensi individu juga berperan membentuk budaya korupsi. Penyebab korupsi, seperti dicatat Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Herdiansyah Hamzah, bersifat multidimensional.
“Korupsi merupakan sebuah masalah multi dimensi yang berakar pada struktur sosial-politik masyarakat Indonesia. Korupsi bukanlah sebuah masalah moral semata, seperti yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat. Sekalipun masalah moral memiliki peran penting dalam menyuburkan praktek korupsi di negara kita, akan tetapi peran tersebut tidak tidak terlepas dari struktur politik kekuasaan yang memberikan ruang untuk munculnya masalah korupsi ini,” kata Hamzah.
Dirunut secara historis, budaya korup di Indonesia punya akar sejarah panjang. Secara garis besar, Hamzah menyebut budaya korupsi Indonesia tumbuh dan berkembang melalu tiga epos sejarah, yakni zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini.
Selama fase zaman kerajaan, seperti diutarakan Hamzah merujuk pada Sejarah Korupsi di Indonesia, budaya korupsi telah berkembang dan dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan mahsyur macam Banten, Demak, Majapahit, Mataram, Singosari, dan lain-lain mengajarkan bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri-sebagian kecil karena wanita-telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut.
Pada ear kolonial, praktik korupsi mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik Indonesia. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah kolonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu.
Budaya korupsi pada era kolonial ini, menurut Hamzah, terus diwariskan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari perilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde Lama dan akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru hingga saat ini.
“Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di negara kita,” katanya
Sebagai rekomendasi, Hamzah menyebut pemerintah harus melakukan pelbagai cara agar praktik ini bisa ditekan, di antaranya melalui perbaikan kondisi hidup masyarakat secara menyeluruh terutama dalam konteks perbaikan ekonomi, membangun sistem kekuasaan yang demokratis, membangun akses kontrol dan pengawasan masyarakat terhadap pemerintah, penguatan institusi-institusi aparatur penegak hukum, perbaikan sistem dan mutu pendidikan.
Pembenaman pemahaman secara terus-menerus kepada pihak-pihak yang berkepentingan juga harus digalakkan sebagai upaya pencegahan. Aspek pencegahan memang telah ditekankan sebagai komponen terpenting dalam mengatasi pungli ini. Sebagian besar porsi anggaran Satgas Saber Pungli juga dialokasikan pada domain pencegahan.
Sebagai agen perubahan nasional, bank bjb ikut berpartisipasi melakukan pemberantasan praktik koruptif secara legal-formal maupun kultural melalui berbagai peraturan dan budaya kerja yang dijalankan atas asas transparansi dan akuntabilitas. Salah satu upaya yang dilakukan untuk membangun kesadaran yang menubuh ini ialah melalui penerapan nilai-nilai budaya perusahaan dengan GO SPIRIT yang merupakan perwujudan dari Service Excellence, Professionalism, Integrity, Respect, Innovation, Trust.
Perwujudan operasional dari konsep-konsep nilai ini misalnya tercermin dalam titah bagi karyawan untuk melakukan pekerjaan sesuai ketentuan perusahaan, menjaga citra bank melalui perilaku terpuji dan menjunjung tinggi etika, maupun menumbuhkan transparansi, kebersamaan dan kerjasama yang sehat.
Bank dengan kode emiten BJBR di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini telah melakukan beberapa langkah sebagai upaya sosialisasi corporate values. Dilakukan pula survei budaya perusahaan untuk mengetahui dan mengevaluasi tingkat pengetahuan, pemahaman, persepsi kepentingan, dan keyakinan para karyawan terhadap proses transformasi organisasi dan budaya perusahaan. Nilai-nilai ini menjadi kerangka normatif yang dibangun agar integritas perusahaan tetap terjaga.
bank bjb juga menerapkan praktik tata kelola yang baik alias Good Corporate Governance (GCG) melalui lima prinsip dasar, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Independency dan Fairness (TARIF) yang telah disepakati oleh seluruh dewan komisaris, direksi dan pegawai bank.
Prinsip TARIF ini merupakan komitmen untuk senantiasa menempatkan tata kelola sebagai fondasi utama perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya, serta untuk mempertahankan eksistensi dalam menghadapi tantangan dan persaingan usaha di masa-masa mendatang, khususnya di sektor industri perbankan.
GCG ini juga memuat pedoman tata kelola mencakup sejumlah aspek, prinsip dan rekomendasi penerapan aspek dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Salah satu rekomendasi penerapan aspek dan prinsip dalam pedoman tata kelola ini adalah kebijakan anti korupsi yang bermanfaat untuk memastikan agar kegiatan usaha perusahaan dilakukan secara legal, prudent, dan sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola. Kebijakan tersebut dapat merupakan bagian dalam kode etik, atau pun dalam bentuk tersendiri.
Dalam kebijakan tersebut dapat meliputi antara lain mengenai program dan prosedur yang dilakukan dalam mengatasi praktik korupsi, balas jasa (kick backs), fraud, suap dan atau gratifikasi dalam bank. Lingkup dari kebijakan tersebut harus menggambarkan pencegahan Perusahaan Terbuka (PT) terhadap segala praktik korupsi baik memberi atau menerima dari pihak lain.
Konsep GCG ini telah sejak lama dijadikan fokus dalam setiap kegiatan bisnis ban bjb. Langkah ini diambil untuk menjadikan bank bjb sebagai bank terbesar dan berkinerja baik. Di sisi seberang, implementasi GCG ini selalu menjadi patokan. Kualitas GCG juga terus diperbaiki. Salah satu bukti optimalisasi GCG ini bank bjb membangun Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) yang telah bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2011. UPG bank bjb ini bahkan menjadi pionir di sektor perbankan dan menjadi tujuan benchmark dari perusahaan lain.
Unit kerja tersebut sengaja didirikan sebagai bakti dan komitmen bank bjb dalam mendukung program pemerintah terhadap aktivitas perusahaan yang bersih dari KKN. Unit yang terdapat di internal perusahaan berperan sebagai kepanjangan tangan dari KPK yang diyakini dapat memudahkan kerja pemerintah dalam mengentaskan KKN. Sehingga perusahaan dapat membentuk sistem kekebalan sendiri melalui pemberian konseling, rekomendasi dan sosialisasi.
Untuk membangun integritas insan bank bjb sebagai pribadi yang berpegang teguh pada prinsip GCG, UGC juga rutin merilis Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang ditujukan pada level jabatan manajer hingga direksi. Laporan harta kekayaan juga diberlakukan pada seluruh pegawai yang berhubungan dengan pihak ketiga.
Tugas dari unit tersebut adalah untuk mengelola laporan gratifikasi dari seluruh pegawai bank bjb. Untuk kemudian, materi maupun bentuk gratifikasi terkait akan masuk kas negara, disumbangkan atau diberikan seutuhnya pada pelapor setelah melalui penilaian yang komprehensif dan objektif.
“Perseroan berupaya keras untuk menyempurnakan dan melaksanakan praktik GCG, tidak hanya selaras dengan tuntutan regulasi namun juga sesuai dengan best practices atau standar internasional. Bagi bank bjb, penerapan GCG merupakan sebuah keharusan, guna mencapai kinerja terbaik secara berkelanjutan. Dapat kami sampaikan bahwa perseroan senantiasa menerapkan standar praktik GCG yang tinggi yang mengacu pada ketentuan OJK dan standar internasional,” kata Direktur Utama bank bjb, Ahmad Irfan.
Contoh lain dari penerapan GCG ini adalah keberadaan Komite Audit yang juga difungsikan secara maksimal. Komite Audit mempunyai tugas mendukung dewan komisaris sesuai dengan tanggungjawabnya mengawasi proses pelaporan keuangan mencakup memeriksa ulang standar akuntansi laporan keuangan, melakukan pemantauan atas penetapan metode penilaian aktiva dan pasiva, komitmen dan kontijensi serta cadangan-cadangan yang harus dibentuk, serta memantau pos-pos laporan keuangan yang mengandung transaksi-transaksi kompleks dan tidak lazim akibat maladministrasi maupun tindakan koruptif yang disengaja.
Dengan maksimalisasi penerapan GCG ini, bank bjb juga beberapa kali mendapatkan penghargaan dari KPK. Apresiasi dari KPK ini mencerminkan akuntabilitas perusahaan serta tingginya komitmen dan kinerja bank bjb dalam mendorong pemberantasan pungli dan korupsi. Beberapa penghargaan di bidang LHKPN berhasil digondol, antara lain Penghargaan perluasan wajib lapor dan kepatuhan LHKPN untuk kategori badan usaha milik daerah (BUMD) 2013, Pengelola LHKPN terbaik BUMD se-Provinsi Jawa Barat tahun 2016, Tingkat kepatuhan dan keefektifan pengelolaan LHKPN tahun 2016, Lembaga dengan tingkat kepatuhan LHKPN terbaik tahun 2017.
Lebih banyak lagi, jumlah penghargaan di bidang gratifikasi, yaitu BUMD yang melaporkan gratifikasi yang menjadi milik negara dengan jumlah terbanyak pada tahun 2012, BUMN dengan total laporan gratifikasi terbanyak yang ditetapkan menjadi milik negara selama tahun 2013, BUMD dengan UPG terbaik tahun 2014 dan 2015, BUMD dengan jumlah laporan gratifikasi terbanyak dan tepat waktu tahun 2014, BUMD dengan sistem Pengendalian Gratifikasi terbaik tahun 2016 dan 2017.
Ke depan, penerapan komitmen dan konsep GCG ini akan semakin dipertajam. Berbagai bukti sahih penghargaan dari KPK yang merupakan salah satu lembaga penegak hukum dengan citra mentereng di tanah air tak menyilaukan insan-insan bank bjb untuk terus meningkatkan kinerja serta performa mereka demi terciptanya sistem maupun budaya kerja lebih efektif dan efisien yang kongruen dengan peningkatan kualitas pelayanan publik. ***
Discussion about this post