JAKARTA | WALI MEDIA ,- Masyarakat diharapkan tidak terjebak romantisme moralitas dalam mencari figur pemimpin. Romantisme moralitas akan berbahaya jika dijadikan standar publik untuk memilih sosok pemimpin. Sebab pemimpin dipilih berdasarkan karisma atau popularitas semata, tanpa pertimbangan kemurnian moral dan integritasnya.
Oleh karena itu, dalam memilih seorang pemimpin, masyarakat diajak tidak terjebak romantisme moralitas.
Demikian diungkapkan Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Izzul Muslimin seperti dilansir di laman muhammadiyah.or.id.
“Kita membutuhkan pemimpin yang mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai yang kuat dan berjangka panjang, bukan pemimpin yang mengandalkan pencitraan,” tutur Izzul saat menghadiri diskusi Maarif House yang digelar Maarif Institut di Jakarta, Rabu (11/9/2024).
Izzul memandang, kondisi kepemimpinan di tubuh bangsa saat ini memerlukan banyak perbaikan yang signifikan. Perbaikan itu terlebih dilakukan untuk urusan moralitas publik.
Sementara , Syamsul Arifin Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengatakan, padahal Indonesia kaya dengan etika dan nilai-nilai luhur, tapi hal itu tidak dipertahankan dan dirawat.
“Indonesia kaya dengan etika dan nilai luhur. Kita harus mempertahankan warisan ini dan ingat bahwa etika adalah cerminan dari yang baik dan buruk,” tambahnya.
Untuk diketahui, agenda diskusi yang diselenggarakan oleh Maarif Institut ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan agama, kebudayaan, dan moralitas publik – sebagaimana tema yang dipilih.
Direktur Maarif Institut, Andar Nubowo berharap dari diskusi ini akan memberikan wawasan baru dan mendorong terus lahirnya pemikiran kritis. Sebab Maarif House merupakan medium terbuka dan konstruktif tentang isu-isu penting.(*)
Discussion about this post