JAKARTA | WALIMEDIA – Sudah lebih dari 3 minggu, Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) atau Omnibus Law disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menjelang tengah malam dalam sidang paripurna, Senin (5/10/2020) yang diwarnai aksi walk out.
Namun UU Ciptaker yang bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing dalam negeri dengan mengurangi persyaratan peraturan untuk izin usaha dan pembebasan tanah ini, justru masih saja mendapatkan penolakkan terutama dari kaum buruh.
Penolakan tersebut salah satunya digelorakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik, dan Mesin, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP LEM SPSI) DKI Jakarta.
Sekretaris LBH FSP LEM SPSI DKI Jakarta, Karunia Fitriadi, SH., menganggap Omnibus Law sebagai UU kontroversial karena pengesahannya terkesan dipaksakan ditengah suasana pandemi covid-19 yang segala aktivitas serba dibatasi, dan kurang mendegarkan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
“Omnibus Law adalah UU kontroversial karena pengesahannya terkesan dipaksakan dan kurang mendegarkan aspirasi yang berkembang di masyarakat, serta tidak berpihak terhadap kaum buruh,” ungkap Karunia di Jakarta, Kamis (29/10/2020).
Ketidakberpihakan UU Cipta Kerja terhadap buruh, salah satunya nampak dari adanya beberapa hak buruh khususnya buruh perempuan yang hilang dari UU sebelumnya yaitu cuti haid atau keguguran.
UU Cipta Kerja juga berpotensi membuat buruh semakin miskin, memudahkan PHK, berkurangnya Hak pesangon dan menurunkan daya tawar buruh, tambah Karunia.
Untuk itu pihaknya akan terus menyuarakan penolakan terhadap UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja dan mendesak dikeluarkannya Perppu (Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang). “Kami menolak UU Cipta Kerja karena senyatanya akan merugikan kaum buruh, dan sebagai pengantinya kami mendesak Presiden untuk segera mengeluarkan Perppu terkait Omnibus Law,” tegas Karunia. (bud)
Discussion about this post