Oleh : Lilis Suryani (Kontributor Dobrak.Co)
Sudah hampir dua tahun pandemi melanda negeri tercinta ini. Hal ini berakibat pada berubahnya semua tatanan kehidupan masyarakat di semua bidang. Akhirnya, penyesuaian terhadap adaptasi kebiasaan baru mutlak harus dilakukan.
Begitupun kaitannya dengan penerimaan dan penyampaian arus informasi yang juga menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di era pandemi.
Didukung dengan kemajuan teknologi melalui digitalisasi membuat masyarakat semakin mudah memperoleh informasi. Segala jenis informasi dari yang fakta sampai hoax ada dalam genggaman publik melalui penggunaan gawai. Hal ini pulalah yang menjadi tantangan tersendiri bagai para jurnalis dan awak media dalam menyuguhkan sebuah informasi.
Sebagaimana kita sadari bersama, betapa media baik media massa maupun media elektronik sangat berperan penting terhadap pembentukan opini dan kesadaran tertentu di tengah masyarakat. Kodusifitas masyarakat sesungguhnya dipengaruhi oleh konten-konten yang disajikan media ketika kemudian dikonsumsi masyarakat.
Selain itu, Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI Dedy Permadi membagikan pendapatnya terkait tantangan yang dihadapi media era pandemi seperti saat ini, diantaranya persaingan usaha di era digital,
risiko keterpaparan COVID-19 bagi awak media dan independensi jurnalis menjadi tantangan tersendiri di era informatika.
“Peran dan kehadiran jurnalis merupakan pilar penting dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang saat ini sudah mencapai point of no return,” ucap Dedy. (Antaranews.com, 6 Februari 2022)
Pernyataan tersebut mengingatkan kita pada pernyataan dari Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto, dalam Peringatan Hari Pers tahun lalu. Dia menyampaikan terkait tantangan media di era pandemi salah satunya adalah manipulasi opini publik di media sosial yang terjadi di beberapa kasus politik di Indonesia.
“Berdasarkan riset LP3ES yang bekerjasama dengan KITLV Leiden, Universitas Amsterdam dan Media Karnell Indonesia, ada upaya manipulasi opini publik di media sosial untuk membenarkan kebijakan-kebijakan yang bermasalah,” ujarnya.
Berkaitan dengan manipulasi tersebut kata Wijayanto terindikasi dari munculnya narasi yang berupa teks, foto dan meme di sosial media yang diluncurkan secara tiba-tiba oleh cyber troops. Terbukti ada cyber troops yang terdiri dari buzzer, influencer, dan bots yang jumlahnya sangat banyak, mereka beroperasi secara sistematis dan terstruktur.
Hal tersebut diduga bisa menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media dan para pemangku kebijakan itu sendiri. Padahal semestinya media memiliki peran strategis dalam menghadirkan kontrol pada kekuasaan dan menyuarakan amanat hari nurani rakyat.
Meski demikian, media arus utama tetap relevan selama Pandemi, karena memiliki struktur newsroom yang bisa memastikan akurasi informasi yang dipublikasikan.
Hal ini disebabkan karena media arus utama memiliki tanggungjawab profesi, termaksud aturan kode etik jurnalistik. Dengan demikian di tengah politik yang semakin sentralistik, media semestinya mampu berperan sebagai watchdog. Hal ini diperlukan untuk mengontrol kekuatan pemerintah. Terutama di tengah longgarnya peraturan tata pemerintah dan melemahnya oposisi.
Inilah tantangan terberat media yaitu bagaimana media bisa tetap menjaga kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar.
Maka hendaknya wartawan Indonesia tetap memegang teguh landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan demi menegakkan integritas serta profesionalisme.
Untuk itu Wartawan Indonesia mesti tetap bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Karena, kepada siapa lagi masyarakat dapat menaruh kepercayaan untuk bisa mendapatkan berita yang benar dan akurat, selain kepada wartawan dan para jurnalis yang tetap menjaga integritas dan profesionalismenya.*
Discussion about this post