
Kasus terdakwa Pinangki Sirna Malasari mencuat di permukaan. Vonis yang dijatuhkan oleh Hakim Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Jakarta adalah 10 tahun penjara.
Namun sayangnya vonis terhadap Pinangki ini dikurangi oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dari 10 tahun penjara berkurang menjadi 4 tahun penjara.
Walhasil pemotongan hukuman ini mendapatkan kecaman dari berbagai pihak.
Pinangki dinyatakan bersalah karena menerima suap USD 450 ribu dari Djoko Tjandra. Untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA), melakukan tindak pidana pencucian uang, dan pemufakatan jahat. Pinangki telah melanggar pasal 11 UU no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Melanggar pasal 25 jo pasal 13 UU Tipikor karena telah melakukan pemufakatan jahat. Juga melanggar pasal 3 UU no 8 tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang (detikNews, 20 Juni 2021)
Pemotongan hukuman terhadap Pinangki oleh Pengadilan Tinggi Jakarta tidak serta merta dapat diterima ditengah masyarakat.Sebanyak 16542 orang meminta Kasasi kepada Jaksa, karena hukuman bagi Pinangki yang disunat.
Walaupun alasan pemotongan hukuman ini dikarenakan Pinangki sudah menyesali perbuatannya. Dan menurut hakim, Pinangki adalah seorang ibu yang mempunyai anak balita (4 tahun) yang masih butuh kasih sayang seorang ibu dalam tumbuh kembangnya (detikNews, 20/6/2021).
Sementara itu Komnas Perempuan juga meminta kejaksaan Kasasi atas vonis banding Pinangki. Menurutnya korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa. Komnas perempuan juga menyayangkan atas pengurangan hukuman terhadap Pinangki yang dilakukan oleh Hakim banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kasasi ini diharapkan dapat berkontribusi dalam penguatan kepercayaan pada institusi hukum dan negara dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi (detikNews, 17/6/2021).
Tindak pidana korupsi sudah menjamur di negeri ini. Tidak lagi peduli siapa dan dari kalangan mana para pelaku korupsi. Dan sangat disayangkan jika pelakunya adalah seorang penegak hukum. Teramat kurang pantas jika hukum yang seharusnya ditegakkan justru dia sendirilah yang melanggarnya.
Kasus Jaksa Pinangki telah menorehkan citra yang buruk terhadap peradilan di negeri ini. Dan menunjukkan betapa lemahnya hukum di negeri ini. Hingga bisa diperjualbelikan demi sebuah kepentingan
Seperti alasan penyunatan hukuman Pinangki karena ia adalah seorang ibu, hal ini bisa menimbulkan keributan di masyarakat. Karena banyak para pelaku korupsi yang dia adalah seorang ibu dan juga harus berpisah dengan anak yang masih balita. Seperti Angelina Sondakh, yang harus berpisah dari puteranya demi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Jika Pinangki memperoleh perlakuan yang berbeda,hal ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik atas kekuatan peradilan di negeri ini. Masyarakat bisa membenarkan bahwa anggapan selama ini hukum di negeri ini, tumpul ke atas namun tajam ke bawah.
Inilah produk demokrasi yang senantiasa menghalalkan segala cara untuk tercapainya sebuah tujuan.
Ironis negeri yang mayoritas penduduknya muslim,namun sistem yang diterapkan di dalamnya adalah sistem kapitalisme. Sehingga menyebabkan hukum yang ditegakkan di negeri ini mudah dipermainkan.
Kondisi ini akan berbeda jika sistem yang berlaku adalah sistem Islam. Sistem yang berasal dari sang Khaliq.
Yang mampu, menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan.
Islam mengajarkan agar tidak terjadi pelanggaran korupsi yang dilakukan oleh aparat negara. Diantaranya adalah, pertama Islam mengatur dalam perekrutan aparat negara berdasarkan atas profesionalitas dan integritas.
Profesionalitas harus dimiliki oleh seorang aparat negara terhadap amanah yang diberikan. Dan mampu bertindak secara konsisten dengan apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah Hari Kiamat (HR. Bukhari).
Kedua, negara memberikan pembinaan terkait cara berpikir (Aqliah) dan pola sikap (Nafsiyah) kepada para aparat negara.
Ketika pola pikir dan pola sikapnya Islam maka para aparat negara ini akan terhindar dari penyelewengan, atau korupsi. Yang jelas perilaku ini bisa menyebabkan kerugian bagi negara.
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada para aparatnya.
Dengan gaji dan fasilitas yang layak akan memberikan kenyamanan aparat negara dalam menjalankan tugasnya. Sehingga mereka tidak susah payah mencari tambahan di luar tugasnya, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Atau tidak tergiur dengan iming-iming suap para penghianat negara agar kejahatan yang mereka lakukan tidak terbongkar.
Empat, Islam juga melarang menerima hadiah dan suap bagi aparat negara. Seperti hadist Rasulullah Saw yang berbunyi, “Hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah Suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran (HR.Abu Daud).
Lima, Islam memerintahkan untuk melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat.
Perhitungan kekayaan bagi aparat dalam sistem pemerintahan Islam guna mengetahui seberapa besar kekayaan yang dimiliki oleh aparat. Hal ini dilakukan agar aparat negara tidak melakukan penyelewengan atau korupsi.
Enam, adanya teladan dari pemimpin.
Pemimpin yang adil akan mampu menjadi contoh bagi para aparat negara, terhadap kejujuran, kedisiplinan, dan kecakapan dalam menjalankan amanahnya.
Tujuh, adanya pengawasan oleh negara dan masyarakat.
Pengawasan oleh negara dan kontrol dari masyarakat akan menjadikan aparat negara bekerja ikhlas lahir dan batin karena pertanggungjawaban tidak hanya di hadapan manusia tetapi juga kepada sang Khaliq yaitu Allah SWT.
Demikianlah Islam mengatur begitu sempurna kehidupan manusia. Segala persoalan akan terselesaikan jika aturan hidup kembali kepada syariat Islam. Karena dengan tegaknya syariat Islam di muka bumi ini akan membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
Tidak akan ada hukum yang diterapkan secara tebang pilih dan keadilan dapat terbeli demi sebuah kepentingan.
Wallahu a’lam bishawab.
Ditulis oleh: Endang Seruni, Muslimah Peduli Generasi dan Pengurus Majelis Taklim” Cermin Wanita Sholihah” Lampung Timur
Discussion about this post