Seorang Mahatma Gandhi pernah berujar bahwa “Kekerasan adalah senjata bagi yang jiwanya lemah”. Karenanya semua sepakat bahwa tak ada yang bisa dibanggakan dari aksi-aksi kekerasan terhadap sesama. Malah sebaliknya, pelaku kekerasan akan ramai dijauhi, bahkan diserukan untuk mendapat balasan setimpal berdasarkan ketentuan hukum.
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil memposting sekotak gambar gelap di akun Instagramnya pada tanggal 23.09.2018. Sebagai pejabat pemerintahan sekaligus bobotoh Persib, beliau sangat kecewa ketika seorang suporter Persija, Haringga Sirilla, tewas dikeroyok secara mengenaskan di pintu masuk Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) jelang pertandingan Persib melawan Persija akhir pekan lalu.
Di akun instagramnya itu, Kang Emil–sapaan akrab Ridwan Kamil, menuliskan singkat “Turut Berduka Cita” dalam kotak besar berwarna hitam sebagai ungkapan kesedihan mendalam. Ujaran kekecewaan dituangkan panjang di kekata di bawah postingan kotak hitam itu. Dengan geram, mantan Walikota Bandung itu menyebut tindakan oknum bobotoh yang melakukan kekerasan sebagai tindakan biadab yang tak bisa ditolerir. Ia menyerukan agar pelaku pembunuhan segera ditangkap dan dihukum seberat-beratnya. Gubernur muda itu juga bahkan bersumpah “lebih baik tak ada liga sepakbola jika harus mengorbankan nyawa manusia!”
Di akun resmi IG-nya, kedua klub sepakbola Persija maupun Persib juga turut mengungkapkan bela sungkawa atas meninggalnya suporter Persija berusia 23 tahun itu. Persib berharap pihak kepolisian bisa segera menyelesaikan kasus ini. “Keluarga besar Persib menyampaikan turut berduka cita sedalam-dalamnya untuk korban suporter yang meninggal dunia saat insiden di GBLA sore tadi,” tulis akun Persib Bandung.
Akun Persija turut menuliskan rasa dukanya “Innalillahi wainnailaihi roji’un. Manajemen Persija turut berduka cita atas meninggalnya satu Jakmania, Haringga Sirla!. Selamat jalan kawan. Mudah-mudahan amal dan ibadahnya diterima Allah SWT. Amin
Lantas, siapa yang menikmati kekerasan dalam perseteruan antara suporter tim sepakbola?
Peristiwa jatuhnya korban jiwa di kalangan suporter tim sepakbola tanah air sudah banyak terjadi dan kembali berulang terus. Masyarakat menyesalkan kejadian ini, selain mengutuk para pelaku juga mempertanyakan pihak aparat yang seharusnya menjaga keamanan dan menghindarkan bentrok yang tak perlu itu.
Siapa bersorak gembira atas kejadian merenggut nyawa anak muda asal Jakarta itu? Nyaris tak ada, kecuali pembelaan diri dari beberapa bobotoh yang mempersoalkan perilaku provokatif yang mendahului kejadian itu. Tapi apakah perilaku suporter yang mendukung tim kebangaannya pantas dihargai dengan hilangnya nyawa?
Jajaran pemimpin kelompok supporter dari dua klub besar itu juga turut mengutuk terjadinya pengeroyokan berujung maut itu. Jangankan jatuhnya korban jiwa, tidak ada yang sama sekali berharap ada korban akibat perilaku kekerasan akibat fanatisme terhadap sepakbola, juga olahraga pada umumnya. Olahraga seharusnya menghasilkan kegembiraan dan baluran semangat untuk menjadi terbaik tanpa merendahkan yang lain. Teringat lirik lagu Via Vallen yang bergema sepanjang Asian Games yang sukses bulan lalu “Kalau menang berprestasi. Kalau kalah jangan frustasi. Kalah menang solidaritas. Kita galang sportifitas”
Perilaku kekerasan yang dilakukan supporter sepakbola memiliki akar yang panjang di daratan Inggris. Di dekade 1970-1990an, pernah dikenal pemeo English Disease, atau penyakit Inggris merujuk ke masifnya bentrok fisik yang terjadi antar supporter garis keras tim sepakbola di kota-kota di Inggris. Masing-masing tim sepakbola punya supporter fanatik yang cenderung gemar menggunakan jalan kekerasan. Kelompok ini tentu saja tidak diakui oleh tim sepakbolanya, tapi menjadi kelompok yang mendominasi kisah kekerasan dalam setiap pertandingan antar kota. Dengan tindakan tegas aparat hukum dan pemberlakuan sanksi tegas terhadap klub, lambat laun kekerasan ini semakin berkurang dari tahun 2000-an hingga sekarang.
Karena soalan English Disease itu juga, beberapa peneliti tertarik melakukan riset tentang perilaku kekerasan di kalangan supporter sepakbola. Salah satunya yang pernah dilakukan oleh Dr Geoff Pearson, dosen senior bidang Hukum Pidana di Universitas Manchester. Dalam melakukan risetnya, Pearson sempat melakoni menjadi supporter fanatik sebuah tim sepakbola di Inggris dan bahkan beberapa kali terlibat dalam konflik fisik antar supporter. Di tahun 2012, ia menerbitkan hasil risetnya dalam tulisan panjang An Ethnography of Football Fans: Cans, Cops and Carnivals” (Manchester University Press).
Dalam riset itu, Pearson menemukan bahwa sebenarnya perilaku kekerasan di kalangan supporter sepakbola itu tidaklah muncul dan direncanakan dari kelompok supporter tim sepakbola. Kekerasan baru mulai bersemi ketika banyak faktor turut berperan, diantaranya karena lemahnya menajemen massa dan kurang tegas menindak ketidakdisiplinan di bangku penonton.
Lanjut Pearson, raibnya tindakan tegas dari penyelenggara pertandingan, baik di lapangan maupun di tribun penonton mengundang massa beringas. Sebaliknya, dengan aturan tegas dan professional, pertandinagn dengan massa penonton yang sangat besar pun bisa dikendalikan dengan baik. Untuk memahami perilaku massa supporter, kita harus focus pada kejadian-kejadian yang menyebabkan kerusuhan dan juga mempelajari kondisi apa saja yang membuat pertandingan bisa berjalan baik tanpa kekerasan penonton.
Pearson berkali-kali menegaskan, juga diperkuat oleh riset-riset sejenis lainnya, bahwa para supporter sebenarnya lebih menginginkan agar pihak apparat dan penyelenggara pertandingan bertindak tegas dan berdisiplin dalam tugasnya mengawasi jalannya acara.
Pearson juga menolak anggapan bahwa perilaku kekerasan dilakukan oleh supporter yang berpendidikan rendah atau ekonomi bawah. Anggapan ini sulit dibuktikan secara ilmiah, karena kebanyakan supporter yang anti kekerasan juga berasal dari kelompok ini. Intinya, bahwa meningkatnya kekerasan muncul dari irisan faktor-faktor yang beragam, bahkan juga perilaku social masyarakat saat itu ikut berkontribusi. Supporter sepakbola adalah juga representasi masyarakat, jadi perlu dilihat dalam skala makro juga.
Saat ini, penegakan hukum yang ketat kepada pelaku kekerasan antar suporter sepakbola, juga sanksi tegas terhadap klub menjadi hal yang serius dibenahi oleh aparat hukum di Inggris dan Asosiasi Sepakbolanya. Karenanya, belakangan tindakan kekerasan menjadi sangat berkurang dan English Disease yang menjadi momok persepakbolaan Ingris lambat laun menghilang.
Belajar dari riset Pearson tersebut, satu hal yang perlu dicontoh oleh aparat hukum, asosiasi sepakbola PSSI, dan juga manajemen klub adalah memperlakukan aturan yang tegas, juga memahami psikologi massa agar tindakan kekerasan antar supporter semakin berkurang dan hilang sama sekali. Tindakan serius dan positif perlu dilakukan oleh kita semua demi pembangunan manusia Indonesia yang sehat dan kreatif.
Penulis : Zaumi Sirad, Ssi.Apt, Caleg PSI-DPRD Kota Bandung 2
(Alumni FA-ITB95
Discussion about this post