INDONESIA terdiri dari daratan dan lautan yang luas termasuk ribuan pulau yang besar dan kecil. Letaknya yang strategis dan beriklim tropis, memungkinkan Indonesia memiliki beraneka ragam tumbuhan dan hewan sebagai sumber kehidupan. Selain itu kekayaan alam yang dihasilkan berupa bahan tambang yang berpotensi sebagai sumber pemasukan negara karena nilai ekonomi yang tinggi.
Hal ini mendorong Indonesia ingin menjadi negara adidaya yang maju, mandiri, dan berkepribadian. Maka upaya untuk mewujudkannya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pada realistasnya saat ini belum sepenuhnya dijalankan negara karena terkendala kondisi perekonomian yang menurun akibat gaya hidup foya-foya di kalangan pejabat negara hingga menutup mata dan hati mereka tanpa mempedulikan lagi nasib rakyatnya.
Akhirnya kekuasaan diambil alih oleh asing untuk memegang kendali dalam mengelola sumber daya alam milik negara. Dengan tipu daya asing, negara tidak dapat menikmati hasil potensi alam sebagai modal dasar pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Ditambah lagi kondisi yang masih diliputi wabah virus corona. Berbagai alternatif pun akhirnya dikerahkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi agar tetap stabil. Meskipun kekayaan melimpah ruah tidak juga dapat menyejahterakan rakyat secara menyeluruh. Negara terus mengandalkan utang yang mengatasnamakan perubahan ke tahapan yang lebih maju.
Hal tersebut didasarkan pada pemaparan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa salah satu alat untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian di masa pandemi covid-19 bersumber dari penambahan utang dengan tujuan memperlebar target defisit APBN.
Lalu diperkuat dengan penjelasan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Luky Alfirman yang membenarkan kebijakan Menkeu dalam rangka mengatasi badai pandemi dengan memokuskan tiga hal. Seperti menyediakan pendanaan untuk mendukung sektor kesehatan (vaksinasi gratis, perawatan pasien covid-19, insentif tenaga kesehatan, dan lainnya), memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat, dan sektor usaha. (CNNIndonesia.com 24/7/2021)
Selanjutnya dilengkapi dengan catatan secara terperinci oleh Kementerian Keuangan bahwa posisi utang pemerintah sampai akhir Juni 2021 sebesar Rp6.554,56 triliun. Angka tersebut 41,35 persen dari rasio utang pemerintah terhadap PDB. Adapun komposisi utang terdiri dari pinjaman sebesar Rp842,76 triliun (12,86 persen) dan SBN sebesar Rp5.711,79 triliun (87,14 persen).
Perlu diketahui sumber utang diperoleh dari pinjaman dalam negeri Rp12,52 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp830,24 triliun. Sementara itu, rincian utang dari SBN berasal dari pasar domestik sebesar Rp4.430,87 triliun dan valas sebesar Rp1.280,92 triliun. (SINDONEWS.com 25/7/2021)
Padahal bahaya hutang sangatlah nyata baik jangka pendek maupun panjang yang bisa menyengsarakan. Terdapat jebakan yang awalnya nampak menggiurkan dengan dalih mempercepat pembangunan ekonomi. Terbukti bukannya untung malah buntung.
Kekacauan yang terjadi akibat negara dengan sukarela menjual aset berharganya satu persatu seperti barang tambang di luar negeri dengan harga murah sebagai alat pelunasan.
Tanpa disadari negara telah terjerumus dalam kubangan utang yang jelas bathil dan merusak sistem perekonomian. Bahaya ini kemudian akan menyasar politik negara yaitu kedaulatan perlahan lenyap bahkan eksistensi negara hilang.
Inilah cerminan dari sistem kapitalisme yang diterapkan negara tidak mengatur kepemilikan dengan benar. Sumber daya alam yang tersedia tidak dioptimalkan dengan baik yang sejatinya milik umum menurut islam. Negara dirancang sistem ekonomi kapitalis menjadi boros dan tidak mandiri. Alhasil justru dikuasai segelintir orang dan menjerat rakyat dalam penderitaan dengan tumpukan utang yang tiada akhir.
Bisa diartikan bahwa utang luar negeri menjadi alat penjajahan model baru yang merusak kedaulatan negara.
Islam memandang utang-piutang adalah salah satu bentuk muamalah dalam rangka ta’awun (pertolongan) yang hukumnya boleh. Namun jika sudah tercampur dengan riba maka Islam tegas mengharamkannya.
Sebagaimana Allah telah melarangnya dalam TQS. Al-Baqarah: 275 yaitu “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam negara tidak pernah bertumpu pada utang luar negeri berbasis riba. Justru sebaliknya anggaran negara berlebih. Poin terpenting yang menjadi sumber pemasukan negara dalam keseimbangan anggaran adalah prinsip kesederhanaan dan kemampuan untuk mandiri dalam mengelola sumber daya alam kemudian dialokasikan pada baitul mal.
Karena itu setiap aktifitas politik yang melibatkan kepentingan rakyat, haruslah terikat dengan hukum Islam.
Kembali pada petunjuk Alquran adalah keharusan untuk melaksanakan hukum-hukumnya.
Terkait urusan akidah, ibadah, makanan minuman, pakaian, akhlak. Ataupun dalam urusan sanksi, pemerintahan, ekonomi, politik dalam dan luar negeri yang merupakan bagian dari muamalah.
Perwujudan atas semua itu akan sempurna tentunya melalui penerapan syariah Islam secara kaffah. Maka negara mampu keluar dari jerat bahaya utang luar negeri dan keberkahan akan dilimpahkan.
Allah berfirman artinya: “Jika penduduk negeri -negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (TQS. Al-A’raf:96).
Wallahu ‘alam bishawab.
Ditulis oleh: Yeni Purnamasari, ST, Muslimah Peduli Generasi dan Pengajar yang tinggal di Lampung Timur
Discussion about this post