BANDUNG, WM — Kesadaran pengendara motor kali ini diuji dengan adanya program Persimpangan Peradaban. Program tersebut bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pengendara yang melanggar.
Selain penindakan, program ini memberi edukasi agar para pengguna kendaraan bermotor disiplin dan beradab saat berkendara.
Data yang diperoleh dari dari Area Traffic Control System (ACTS), kawasan Jalan Moh. Toha – Soekarno Hatta dan Jalan Ahmad Yani – PHH Mustofa terjadi pelanggaran cukup tinggi. Pada program Persimpangan Peradaban, Rabu (21/3/2018), Dishub Kota Bandung dan Satlantas Polrestabes Bandung menindak sejumlah pelanggar. Di kawasan Moh. Toha – Soekarno-Hatta terjaring sebanyak 50 pelanggar dan 120 teguran. Sedangkan di kawasan Jalan Ahmad Yani – PHH Mustofa terjaring sebanyak 45 pelanggar dan 120 teguran.
Menurut Kepala Seksi Pengaturan Transportasi Bidang Pengendalian dan Ketertiban dan Transportasi Dinas Perhubungan Kota Bandung, Khairur Rijal, pelanggaran terjadi karena pengendara tidak mematuhi aturan. Di antaranya, tidak menggunakan helm, angkutan umum menyerobot jalur dan berhenti lebih dari area Marka Jalan seperti zebra cross.
“Jadi dari hasil analisa kita dari ATCS, ada 10 persimpangan pelangaran terbanyak, salah satunya simpang Mohamad Toha dan Ahmad Yani menduduki urutan pertama pelanggaran tertinggi. Baik pelanggaran tidak gunakan helm, angkutan umum menyerobot jalur lain, jadi cukup banyak,” ujarnya ditemui di persimpangan jalan Mohamad Toha, Rabu (21/3/2018).
Menurut Rijal, pihaknya langsung turun ke lapangan untuk membandingkan tingkat kesadaran masyarakat jika anggota polisi dan Dishub memberikan tindakan maupun peringatan.
“Kami turun ke lapangan yaitu membandingkan. Saat anggota polisi dan Dishub turun, apakah tingkat kesadaran warga naik atau seperti apa?” katanya.
Menurutnya, salah satu tujuan dilakukan kegiatan ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Sekecil apapun pelanggaran, bisa berakibat kecelakaan dan berdampak fatal terhadap keselamatan.
“Maka jangan pernah membuat pelanggaran sekecil apapun. Terkadang masyarakat berasumsi ‘membenarkan yang biasa’, tapi seharusnya ‘membiasakan yang benar’,” tegas Rijal. **
Discussion about this post