JAKARTA | WALIMEDIA – Terlepas dari berbagai pengkajian yang menyimpulkan bahwa proses, perancangan, perumusan dan pembahasan dilakukan tidak terbuka serta tidak melibatkan partisipasi masyarakat, tujuan ditetapkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) adalah untuk mewujudkan Indonesia ramah investasi.
Namun sayangnya, pembahasan hak asasi manusia, terutama prinsip-prinsip HAM dalam pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya (Ekosob) tidak ada. Padahal hak atas pekerjaan merupakan bagian paling penting dari hak ekonomi, karena berkaitan dengan hak lainnya, yakni hak atas penghidupan yang layak.
Demikian paparan Dede Kania, Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum serta S-2 Ilmu Hukum UIN Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung saat menjadi narasumber pada Focus Group Discussion (FGD) Proposal Penelitian Perlindungan Hak-Hak Buruh Pasca Terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai Dasar Pertimbangan Putusan Hakim dalam Persidangan Hubungan Industrial.
Dalam implementasinya, kata Dede, terhadap hak hak asasi manusia melekat ciri-ciri inalienable (tidak dapat dicabut), universal, interconnected (terkait satu sama lain), dan indivisible (tidak dapat dipisah-pisahkan). Termasuk dalam hak-hak pekerja diantaranya kondisi kerja yang adil dan aman bagi para pekerja, hak mencari dan memilih pekerjaan, hak membentuk bergabung dan mengambil keputusan bersama dalam serikat buruh; jaminan sosial, antara lain bantuan pemerintah pada masa tua dan saat tidak ada pekerjaan, dan uang atau bantuan lainnya bagi orang yang membutuhkan bantuan agar dapat menjalani kehidupan yang bermartabat.
Menurut Dede, kuatnya kedudukan hak-hak yang berkaitan dengan pekerjaan karena pengaturannya dalam berbagai instrument hukum nasional maupun internasional. Penguatan kedudukan hak-hak ini berkaitan dengan pekerjaan dalam berbagai instrument hukum, menunjukkan adanya perhatian negara dan dunia internasional terhadap pentingnya perlindungan bagi para pekerja dan hak-hak yang berkaitan dengan pekerjaan lainnya.
Indonesia, kata Dede, mengatur hak atas pekerja dan hak-hak yang berkaitan dengan pekerjaan sebagai hak konstitusional, dan diatur dalam UUD NRI 1945, UU 39/1999, UU 11/2005, UU 13/2003; UU 11/2020. Indonesia juga telah meratifikasi beberapa instrument terkait ketenagakerjaan seperti ICESCR dan Konvensi ILO.
Lebih lanjut, Dede Kania menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja sebagai bagian dari pembangunan ketenagakerjaan belum secara utuh melindungi hak-hak pekerja, karena beberapa aspek krusial seperti PKWT, pengaturan upah, dan pesangon mengalami perubahan signifikan yang dapat berdampak mereduksi hak atas pekerjaan dan berpotensi merugikan buruh apabila terjadi perselisihan. Diantara penyebab dalam kurangnya perlindungan hak atas pekerjaan di Indonesia adalah Pemenuhan kewajiban negara untuk memberikan hak konstitusional, termasuk hak atas pekerjaan masih rendah, ratifikasi ICESCR tidak disertai dengan pemahaman prinsip-prinsip HAM yang menyertainya, seperti Maastricht Principles dan Limburg Principles, serta Konvensi ILO yang diratifikasi masih sangat rendah. Bahkan, berkaitan dengan pengupahan Indonesia baru meratifikasi 1 konvensi, yakni Konvensi No. 100/1951 tentang Pengupahan yang sama bagi Pekerja Laki-laki dan perempuan yang sama nilainya. 3 (tiga) konvensi utama tentang pengupahan justru belum diratifikasi, yakni Konvensi No. 26/1928, Konvensi No. 99/1951, dan Konvensi No. 131/1970.
FGD yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Diklat Kumdil Mahkamah Agung dan dibuka langsung oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA, Zarof Ricar digelar di Double Tree By Hilton, Jakarta, Kamis (20/5/2021).
Hadir sebagai pembicara lainnya adalah Prof. Aloysius Uwiyono, Guru Besar FH Universitas Indonesia (UI), Turman M. Panggabean, Dosen, Advokat dan Praktisi Perburuhan, serta Mustakim, Wakil Dekan FH Universitas Nasional, Jakarta.
FGD ini ditujukan untuk mengetahui pengaturan hak-hak buruh dalam UU Cipta Kerja beserta turunannya dalam hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja, untuk mengetahui apakah perubahan dalam UU Cipta Kerja dan turunannya mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan perkara-perkara perselisihan hubungan industrial, dan untuk memberikan rujukan hakim dalam mengambil putusan dalam perkara-perkara perselisihan hubungan industrial di Pengadilan Hubungan Industrial pasca terbitnya UU Cipta Kerja dan turunannya.(*)
Discussion about this post