BANDUNG, walimedia.com — Pemanasan global masih menjadi wacana hangat yang terus menyedot perhatian publik di pelbagai belahan dunia. Tak cuma sebagai wacana, gejala pemanasan global yang secara sederhana tergambar melalui memanasnya hawa di permukaan Bumi menjadi fakta sebuah nan sulit terbantahkan.
Berdasarkan pemantauan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), sejak pencatatan suhu Bumi dilakukan pada 1880, suhu rata-rata permukaan Bumi mengalami kenaikan 0,95 derajat Celcius hingga 2016 dari suhu rata-rata global selama abad ke-20 yang berkisar 13,9 derajat Celcius.
Lembaga yang rutin melakukan pemantauan suhu permukaan Bumi ini juga mencatat rekor suhu terpanas sepanjang sejarah 137 tahun pencatatan terjsdi selama tiga tahun beruntun pada 2014-2016. Tahun 2016 juga dinobatkan menjadi tahun terpanas di Bumi selama 800 ribu tahun terakhir. Saat itu kenaikan suhu permukaan Bumi dan laut mencapai 0,94 derajat Celsius di atas rata-rata.
Fenomena pemanasan global secara umum turut dipengaruhi meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas lainnya yang mengendap di atmosfer. Radiasi sinar matahari yang seharusnya dipantulkan balik setelah menyorot Bumi malah terjebak di atmosfer lantaran menumpuknya gas CO2. Implikasinya, suhu permukaan Bumi menjadi lebih panas akibat radiasi matahari yang tertahan di atmosfer.
Pencatatan yang dilakukan National Aeronautics and Space Administration (NASA) menunjukkan konsentrasi CO2 di atmosfer terus mengalami peningkatan secara gradual. NASA mengklaim kadar CO2 yang berada di atmosfer beberapa tahun belakangan merupakan yang terbanyak selama 400 ribu tahun terakhir. Selama zaman es, tingkat CO2 di udara berkisar 200 bagian per juta (bpj). Artinya, terdapat 200 molekul CO2 dalam setiap satu juta molekul udara. Dalam rentang masa 800 ribu tahun yang lalu hingga awal era Revolusi Industri abad ke-18, jumlahnya meningkat menjadi sekitar 280 bpj.
“Pada tahun 2013, tingkat CO2 melampaui 400 bpj untuk pertama kalinya dalam sejarah yang tercatat. Peningkatan CO2 yang tak kenal lelah saat ini menunjukkan hubungan yang sangat konstan dengan pembakaran bahan bakar fosil, dan dapat dipertanggungjawabkan dengan baik berdasarkan premis sederhana bahwa sekitar 60% emisi bahan bakar fosil tetap di udara.” demikian tertulis di laman resmi NASA. Catatan CO2.earth yang melakukan pemantauan real time, kadar CO2 saat ini mencapai 405 bpj.
Keberadaan gas CO2 yang melimpah ini dipicu penggunaan bahan bakar fosil dalam pelbagai bentuk, termasuk di antaranya untuk bahan bakar operasional pabrik, pembangkit listrik dan kendaraan. Sumber gas CO2 yang berasal dari bahan bakar fosil ini menjadi yang terbesar. Selain itu, CO2 juga menjadi gas yang menyumbang emisi rumah kaca terbanyak. United States Environmental Protection Agency (US EPA) mencatat CO2 menyumbang sekitar 82% dari seluruh emisi gas rumah kaca AS pada 2015 lalu.
Sumber CO2 terbesar setelah bahan bakar fosil, seperti tergambar dalam sebuah riset yang dilakukan peneliti Duke University, berasal dari laju deforestasi yang juga disebabkan manusia. Ketika pohon-pohon yang ditebang mati, mereka melepaskan karbon yang disimpan selama proses fotosintesis.
Berdasarkan survei satelit yang dilakukan Global Forest Watch (GFW), dunia kehilangan hutan seluas lebih dari satu lapangan sepakbola setiap detik pada tahun 2017. Laju deforestasi tahun 2017 mencapai 29,4 juta hektare, tertinggi kedua yang tercatat sejak pemantauan dimulai pada 2001. Skala perusakan pohon yang sebagian besar dilakukan secara ilegal, menimbulkan ancaman besar untuk mengatasi perubahan iklim.
“Alasan utama hilangnya hutan tropis ini bukanlah misteri—pembukaan areal lahan baru terus dilakukan untuk produksi kedelai, daging sapi, minyak sawit, kayu, dan komoditas perdagangan global lainnya,” kata pendiri Global Forest Watch, Frances Seymour. “Sebagian besar pembukaan (lahan baru) ini ilegal dan terkait dengan korupsi.”
Global Forest Resources Assessment 2015 yang dilakukan Badan Pangan Dunia (FAO) PBB mencatat emisi global yang dipcu deforestasi mencapai 2,9 Gigaton (Gt) CO2/tahun selama periode 2001-2015. Laju deforestasi tahunan sendiri mencapai 0,08% selama periode 2010-2015. Baik level emisi maupun laju deforestasi ini mengalami penurunan ketimbang sekitar satu dekade lalu.
Sementara di tanah air, FAO mencatat laju deforestasi di Indonesia mencapai 300 ribu hektare/tahun pada dekade 70-an. Kemudian periode 1990-an laju deforestasi meningkat menjadi 1 juta hektare/tahun. Analisis Forest Watch Indonesia (FWI) dan GFW tahun 2001 memperlihatkan bahwa laju deforestasi terus meningkat, menjadi 2 juta hektare/tahun periode 1996-2000. Selanjutnya, menjadi 1,5 juta hektare/tahun periode 2001-2010 dan periode 2009-2013 lajunya sebesar 1,1 juta hektare/tahun.
FWI juga mencatat pada periode tahun 2009-2013, hutan Indonesia hilang seluas 1,13 juta hektare setiap tahunnya. Kecepatan hilangnya hutan Indonesia setara dengan 3 kali luas lapangan sepak bola per menit. Dari tahun 2013-2016, hutan alam di Provinsi Sumatra Utara, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara hilang sebanyak 718 hektare atau sebanding dengan 240 ribu hektare/tahun, 20 ribu hektare/bulan dan setengah hektare setiap menit. Pada tahun 2016, total luas hutan alam di ketiga provinsi tinggal 9 juta hektare.
Walau terbilang masih cukup besar, laju deforestasi di tanah air belakangan cenderung menurun. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merilis angka deforestasi Indonesia periode 2016-2017 mengalami penurunan menjadi 496.370 hektare. Deforestasi periode 2015-2016 sebesar 630.000 hektare.
“Angka deforestasi ini turun dibandingkan dengan laju deforestasi pada tahun 2016, yaitu 630 ribu hektare. Luas hutan (forest cover) pada tahun 2017 ini meliputi 93,6 juta hektare. Angka deforestasi tahun ini lebih kecil dibandingkan tahun kemarin. Hal ini menunjukkan hasil dari upaya dan kerja keras kita, untuk terus menurunkan angka deforestasi tahunan,” kata Menteri LH, Siti Nurbaya.
Penurunan laju deforestasi ini salah satunya ikut disebabkan komitmen pemerintah yang tak bisa dibilang sembarangan untuk ikut berkontribusi dalam upaya menyelamatkan lingkungan. Sebagai anggota negara G-20, Indonesia tentu mempunyai peran penting dalam menangani masalah perubahan iklim tersebut. Data dari World Resources Institute (WRI), negara G-20 yang terdiri dari 20 negara dengan pertumbuhan dan skala ekonomi terbesar bertanggung jawab atas 80% emisi gas rumah kaca di seluruh dunia.
Indonesia juga menjadi salah satu dari 159 negara anggota Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa yang meratifikasi Persetujuan Paris berisi komitmen serta strategi pengendalian iklim pada musim panas 2017. Ratifikasi Persetujuan Paris ini bertujuan untuk menghentikan level kenaikan suhu pemanasan yang ditentujan maksimal mencapai 1,5 derajat Celcius di atas suhu rata-rata Bumi selama masa pra-industri.
Sebelumnya, Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris yang pertama kali dikeluarkan pada 2015 silam dengan penerbitan Undang-undang Nomor 16 tahun 2016 tentang tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan Iklim.
Secara lebih detail, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi sebesar 29% (834 juta ton) CO2 dengan upaya sendiri dan menjadi 41% (1.081 juta ton) CO2 jika ada kerja sama internasional pada tahun 2030, termasuk di antaranya melalui sektor kehutanan dan pertanian.
Indonesia pun terus mendorong penerbitan kebijakan-kebijakan terkait perubahan iklim, dengan meningkatkan pengembangan energi terbarukan, pengelolaan hutan dan lahan, serta program Iklim di lingkungan rural dan urban. Hal itu, menurut dia, diharapkan menarik perhatian dunia internasional untuk meningkatkan investasi dan kerja sama pada kegiatan-kegiatan terkait proyek ramah lingkungan (green and climate project).
Pemerintah tentu sudah menyadari peningkatan konsentrasi CO2 yang mempengaruhi pemanasan global memicu terjadinya perubahan iklim. Dampak pemanasan global dan perubahan iklim sangat luas seperti mencairnya es di kutub, meningkatnya permukaan laut, bergesernya garis pantai, musim kemarau yang berkepanjangan dan musim hujan yang semakin singkat namun semakin tinggi intensitasnya, serta anomali-anomali iklim seperti badai El Nino dan La Nina.
Fenomena ini pada akhirnya akan mengancam kehidupan manusia akibat krisis pangan, banjir dan wabah penyakit. Indonesia telah mengalami dampak perubahan iklim ditandai dengan intensitas cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi. Musim panas menjadi semakin berkepanjangan dan musim hujan dengan intensitas tinggi disertai angin kencang menyebabkan banjir besar dan berbagai bencana di berbagai daerah.
Sebagai salah satu agen perubahan nasional, bank bjb ikut serta berkontribusi dalam mencegah laju deforestas dan pemanasan global dalam skala dan cara yang lebih spesifik. Sumbangsih bank bjb diberikan melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan badan usaha milik daerah ini, termasuk di antaranya dengan penerapan budaya Go Green perusahaan, praktik keuangan berkelanjutan dan program penghijauan corporate social responsibility (CSR).
Upaya Go Green atau biasa dikenal sebagai gerakan kesadaran lingkungan ini telah menyebar dalam berbagai kegiatan di yang dilakukan insan bank bjb. Konsep Go Green tidak sekadar bersifat temporal dan seremonial, namun dijalankan secara kontinyu dan komprehensif dalam berbagai aspek. Budaya ini diterapkan misalnya melalui penurunan biaya operasional sebagai dampak dari efisiensi penggunaan energi, sumber daya dan peralatan kantor (listrik, air, kertas, tinta printer, bahan bakar minyak/BBM), optimalisasi pemanfaatan ruangan dan efisiensi biaya transportasi. Dalam aktivitas Go Green tersebut, terdapat nilai bisnis yang memberikan keuntungan pada perusahaan.
Sebagai contoh, perubahan iklim dalam skala tertentu berpotensi mempengaruhi kegiatan operasional dan bisnis bank bjb baik secara langsung maupun tidak langsung. Cuaca ekstrem dapat mengakibatkan kerusakan atau gangguan pada berbagai perangkat jaringan teknologi informasi dan telekomunikasi dan memperpendek masa pakai.
Kondisi ini akan mengurangi optimalisasi layanan perbankan karena terganggunya kelancaran transaksi yang mempengaruhi kepuasan nasabah sehingga dalam jangka panjang berpotensi menurunkan jumlah nasabah dan berimplikasi pada pendapatan. Secara tidak langsung, banjir besar yang melanda berbagai daerah juga mempengaruhi kelancaran mobilitas bank dalam aktivitas operasional sehari-hari
Sejak lama, budaya Go Green ini telah dijalankan melalui berbagai kebijakan, tak terkecuali dalam hal penggunaan energi langsung dalam aktivitas operasional bank bjb. Penggunaan BBM untuk kendaraan operasional diatur agar emisi buangan CO2 bisa ditekan. Inisiatif penghematan BBM dilakukan dengan melakukan penataaan penggunaan kendaraan operasional secara lebih optimal dan tepat guna.
bank bjb, misalnya, menerapkan kebijakan shuttle car untuk mengatur penggunaan kendaraan yang menghubungkan Kantor Pusat di Bandung dengan Kantor Cabang di Jakarta atau di tempat lain secara terjadwal. Kendaraan operasional diberangkatkan dengan jam-jam keberangkatan yang sudah ditentukan. Dengan begitu, pegawai menyesuaikan waktu keberangkatannya dengan jadwal shuttle car.
Bank yang sering dinobatkan sebagai TOP BUMD dan BUMN ini juga menerapkan kebijakan car pooling, yaitu optimalisasi penggunaan kendaraan operasional berdasarkan pemenuhan kebutuhan mobilitas, bukan berdasarkan jatah kendaraan di tiap divisi. Kedua kebijakan ini mengurangi biaya konsumsi BBM dan biaya transportasi secara signifikan di samping juga merupakan upaya bjb untuk ikut mengurangi pencemaran udara akibat emisi gas buang kendaraan bermotor.
bank bjb bekerjasama dengan dengan PT Pertamina (Persero) dengan menandatangani MoU di mana bank bjb akan mewajibkan seluruh kendaraan dinasnya menggunakan BBM non subsidi yang dipasarkan Pertamina melalui tidak kurang dari 82 unit SPBU Coco yang dikelola oleh anak perusahaan, yaitu PT Pertamina Retail. Langkah ini merupakan bentuk dukungan konkret terhadap implementasi dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 1/2013 tentang Pengendalian Pengunaan BBM.
Selain itu MoU juga meliputi penggunaan dan pemasaran Kartu RFId, co-branding pada produk yang dikembangkan bersama, kerja sama pembiayaan, sistem pembelian BBM via hos-to-host, funding, lending, pemasangan dan penyediaan sarana ATM, EDC, layanan cash management, payroll service, hingga jasa layanan perbankan lainnya.
Penekanan penggunaan energi tidak langsung berupa konsumsi daya listrik untuk aktivitas operasional bank bjb ikut membudaya. Upaya menekan konsumsi listrik yang dilakukan adalah program modifikasi sistem penerangan dalam ruangan kantor dengan mengganti lampu TL dengan LED bersertifikat dan bergaransi. Selain bertujuan untuk menekan konsumsi listrik, penggantian lampu TL juga merupakan bentuk kesadaran kami terhadap kesehatan dan perlindungan lingkungan. Seperti diketahui, limbah Lampu TL mengandung Mercury (Hg) dalam bentuk uap atau bubuk yang bila tercecer akan berbahaya bagi kesehatan. Upaya lain, pendingin udara (AC) di kantor bank bjb secara otomatis akan mati pada pulul 17.00 WIB dan hanya satu lift yang beroperasi setelah pukul 19.00 WIB.
Tak kalah mengesankan, kantor pusat bank bjb sering melakukan daur ulang air bekas pakai untuk digunakan kembali untuk keperluan-keperluan tertentu seperti flushing toilet dan mencuci kendaraan. Sebagai upaya efisiensi, bank bjb mengunakan kran sensor dan sistem tombol ganda untuk alat penyiraman toilet. Terdapat pula instalasi pengolahan air limbah domestik sehingga air yang dibuang ke memenuhi baku mutu sebagaimana yang dipersyaratkan.
Upaya penghematan kertas ikut dilakukan melalui aktivitas kantor tanpa kertas (paperless office). Secara bertahap bjb menerapkan aplikasi daring untuk slip gaji, buletin, formulir perjalanan dinas dan nota dinas sehingga penggunaan kertas dapat dikurangi. Dalam kegiatan operasional perbankan, secara bertahap bank bjb mengarahkan para nasabah untuk mengoptimalkan penggunaan internet banking dan mobile banking yang telah kami kembangkan untuk mengurangi transaksi fisik yang menggunakan kertas.
“Kami berusaha meminimalisasi dampak lingkungan akibat kegiatan operasional perusahaan. Untuk melakukan kegiatan operasional berwawasan lingkungan, kami membuat kebijakan-kebijakan bisnis yang memperhatikan aspek lingkungan. Kami juga mendorong debitur dan mitra kerja rekanan untuk memperhatikan aspek lingkungan,” kata Direktur Utama bank bjb, Ahmad Irfan.
Lebih jauh, bank bjb juga menerbitkan persyaratan lingkungan kepada calon debitur mereka. Salah satu kriteria dalam penilaian prospek usaha debitur adalah upaya yang dilakukan debitur dalam mengelola lingkungan hidup, khususnya debitur berskala besar yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup. Hal ini sejalan dengan Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan yang menyatakan bahwa salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam penyaluran penyediaan dana adalah hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau berisiko tinggi.
Hasil AMDAL diperlukan untuk memastikan kelaikan proyek yang dibiayai dari aspek lingkungan. Kegiatan berdampak penting yang dilakukan tanpa AMDAL dapat membawa dampak yang merugikan bagi bank di kemudian hari karena tidak adanya perencanaan pengelolaan lingkungan yang memadai. Kondisi ini pada gilirannya berisiko pada kelangsungan usaha dan kemampuan debitur untuk mengembalikan pinjaman.
Penerapan ketentuan peminjaman yang ketat ini juga sebagai cerminan komitmen bank bjb dalam menjalankan praktik keuangan berkelanjutan. bank bjb juga resmi tergabung dalam kelompok The First Movers on Sustainable Banking bersama World Wide Fund For Nature (WWF) Indonesia dan resmi membentuk Inisiatif Keuangan Berkelanjutan lndonesia (IKBI). Keberlanjutan usaha bank-bank yang terlibat dalam IKBI tidak hanya diukur berdasarkan pertumbuhan kinerja finansial tapi juga kepedulian dalam memahami permasalahan sosial dan lingkungan.
Sebagai bentuk komitmen lainnya, bank bjb juga ikut menggabungkan diri dalam United Nations Environment Programme for Finance Intiative (UNEP FI), badan internasional di bawah kendali Perserikatan Bangsa-bangsa, yang mengurusi kerja sama sektor keuangan dan corporate sustainability. Dalam laporan Roadmap Keuangan Berkelanjutan 2015-2019 di Indonesia, disebutkan perhimpunan ini terbentuk atas dasar inisiatif global dari beberapa lembaga keuangan di dunia untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.
Beberapa inisatif global dimaksud di antaranya seperti Kesepakatan RIO+ yang memuat komitmen negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara global dan membantu negara-negara berkembang juga melakukan program pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan, The Equator Principles (EP) yang diikuti 70 institusi keuangan yang berkomitmen untuk tidak akan memberikan pinjaman atas proyek bernilai 10 juta Dolar AS atau lebih jika calon debiturnya tidak mematuhi aturan-aturan sosial dan lingkungan hidup yang berlaku dan untuk mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh EP.
Inisiatif berskala internasional lainnya adalah Global Reporting Initiative (GRI). Pedoman GRI diadopsi dari the UN Environment Programme (penyandang dana dari UN Development Fund), merupakan salah satu pedoman dalam menyusun laporan keberlanjutan. Laporan keberlanjutan merupakan bentuk laporan yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam rangka untuk mengungkapkan atau mengkomunikasikan kepada seluruh pemangku kepentingan mengenai kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial masyarakat secara akuntabel.
UNEP FI juga dikenal sebagai perancang dan pengembang dari prinsip-prinsip investasi bertanggung jawab atau Principles for Responsible Investment (PRI). Para anggota UNEP FI mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. UNEP FI juga percaya bahwa agenda pembangunan berkelanjutan menjadi semakin terkait dengan isu sosial dan kemanusiaan karena meluasnya agenda lingkungan global dan karena perubahan iklim membawa tantangan pembangunan dan keamanan yang semakin besar.
Sebagai bukti komitmen mendukung pembangunan berkelanjutan ini, program CSR bank bjb juga difokuskan pada upaya meningkatkan kualitas lingkungan, pendidikan dan kesehatan. Dalam pelaksanaannya, bank bjb bekerja sama dengan pemerintah daerah maupun mitra-mitra seperti yayasan, lembaga, organisasi maupun perguruan tinggi agar program yang dijalankan tepat sasaran.
Sementara program CSR yang dilakukan di sektor lingkungan mencakup pengembangan potensi masyarakat dan pelestarian lingkungan. Fokus bank bjb adalah mendorong peran serta masyarakat untuk menggali dan memanfaatkan potensi yang mereka miliki untuk meningkatkan kualitas hidup denganmemberikan edukasi dan pendampingan dalam menerapkan teknologi tepat guna berbasis pangan lokal untuk memberdayakan potensi setempat menjadi produk olahan bernilai tambah. Bentuk CSR di sektor lingkungan ini telah didaratkan dalam pusparagam program, di antaranya inisiatif one customer one tree, bjb Lestari Bumi, greenschool, pemberian dan penanaman bibit pohon, dan lain-lain.
“Kami dengan serius merancang program-program pengembangan masyarakat yang berfokus pada tiga pilar utama yaitu pendidikan, kesehatan dan lingkungan. Tentu saja kami juga peduli dan tanggap terhadap berbagai masalah kemanusiaan dan musibah bencana alam. Aktivitas CSR bank bjb tidak hanya bersifat filantrofi, tetapi harus mempunyai dampak berkelanjutan. Dengan demikian, kehadiran bank bjb dapat memberikan nilai positif bagi masyarakat dan negeri ini,” ujar Ahmad.
Kegiatan tanggung jawab sosial yang dilaksanakan bank bjb selalu menerapkan prinsip keberlanjutan dan kesinambungan dalam pelaksanannya. Dengan begitu, komitmen untuk memberikan kontribusi bagi segenap pemangku kepentingan dapat benar-benar terwujud. Langkah-langkah kecil yang ditempuh bank bjb ini merupakan salah satu cara terencana guna melawan arus pemanasan global dalam skala yang lebih luas. ***
Discussion about this post