OPINI | WALIMEDIA – Memanen dari hasil menanam, seorang kepala Desa di Kabupaten Karawang, seorang Kepala Desa Abdul Wahid ditangkap polisi usai korupsi uang anggaran Desa sebesar Rp. 221.118.160 bukan nilai yang sedikit, AW menggunakan uang hasil korupsinya tersebut untuk keperluan hiburan pribadinya yaitu untuk karoke dan penggunaan obat obatan terlarang sungguh miris berita ini dilansir dari (Suara.com 07 Februari 2024)
Menjadi seorang Kepala Desa adalah tingkat awal sebuah jabatan yang cakupanya cukup luas, dipilih langsung oleh masyarakat dan jabatan yang paling dekat untuk melihat fakta kondisi masyarakat yang semrawut serta harus bisa memberikan solusi atas keadaan juga ketimpangan yang terjadi. Namun sangat disayangkan akibat ego dirinya Abdul Wahid lebih memilih untuk mengurus dirinya dibandingkan kesejahteraan rakyat melalui korupsi.
Semakin jelas terlihat kasus seperti ini mengkonfirmasi bahwasanya sistem politik demokrasi selalu memberikan kesempatan kepada manusia serakah yang mementingkan diri sendiri dibandingkan kewajibanya mengurusi rakyat, tumbuh subur praktik korupsi dengan berbagai cara dan alasanya. Penyelewengan kekuasan merupakan salah satu kesempatan praktis untuk seseorang melakukan praktik korupsi, terutama yang berkaitan dengan pengurusan anggaran, pengesahan dan pembahasan anggaran. Tentu saja praktik korupsi ini tak hanya terjadi di tingkat politik negara namun terjadi juga dengan marak di tingkat perangkat desa.
Di dalam sistem demokrasi kekuasaan yang berada di tangan rakyat menjadi lemah untuk menghukumi sebuah kasus yang melanggar peraturan, dalam kasus ini tersangka yang telah dinyatakan bersalah akan dihukum dengan hukuman pidana maksimal 20 tahun penjara dan denda subsider sebesar 100 juta sampai 350 juta. Tentu nominal yang sangat kecil bila dibandingkan dengan penghianatan kepercayaan terhadap masyarakat.
Hukuman seperti ini tentu saja tidak membuat jera para pelakunya. Karena hukum yang dibuat oleh pembuat hukum atau sesama manusia pasti memiliki kelemahan dan dapat dinegosiasi akibat kepentingan.
Tak heran praktik korupsi tumbuh sangat subur diberbagai jabatan pemerintahan, hal demikian lagi lagi mengkonfirmasi bahwasanya longgarnya dan lemahnya jerat hukum hingga tidak membuat efek jera. Maka membuka peluang praktik korupsi cukup menggiurkan.
Coba kita bandingkan dengan aturan islam yang memiliki sistem kehidupan yang sempurna tentu saja memiliki hukum atas segala perbuatan yang dilakukan manusia yang datang nya dari Allah SWT sebagai pencipta dunia.
Hukum Islam bersifat Jawabbir (penebus dosa) zawajir (membuat jera). Berbeda dengan kasus pencurian jika sudah masuk nisab (mencuri tiga dirham atau seperempat dinnar atau barang yang sebanding dengan itu) yang mendapatkan hukuman potong tangan, Bagi pelaku korupsi hukumannya ta’jir (keputusan kholifah).
Kesempurnaan sistem islam dalam pengaturan kehidupan tidak diragukan lagi, sebab Islam datang menjadi rahmat bagi seluruh alam, baik manusianya maupun seluruh mahluk hidup yang ada didalamnya.
Dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya sebagaimana pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik, begitu juga dengan sistem negara yang baik akan melahirkan manusia yang baik, juga sebaliknya. Baik buruknya sebuah negara tidak dilihat dari sikap perindividunya namun negara yang baik akan menghasilkan seorang individu yang cemerlang.
Wallahualam bissowab
Ditulis oleh : Ummu Haura ( Pegiat Literasi)
Discussion about this post