BANDUNG BARAT | WALIMEDIA – Kabupaten Kabupaten Bandung Barat (KBB) akan menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada November 2024 mendatang. Sejumlah lembaga survei memunculkan puluhan Bakal calon (Bacalon) Bupati yang terkonfirmasi siap maju dan mendaftar di sejumlah partai.
Info yang ramai beredar di masyarakat jika kandidat Pasangan Calon (paslon) yang hendak bertarung di Pilkada atau Pemilihan Bupati (Pilbup) Bandung Barat tahun ini, setidaknya memerlukan ongkos politik kurang lebih sebanyak Rp10 miliar.
Menurut pengamat politik, Dosen tetap pascasarjana di Universitas Nurtanio (UNUR) yang juga sempat memiliki pengalaman maju sebagai calon bupati pada Pilkada Bandung Barat tahun 2013 silam, Djamu Kertabudi memberikan komentarnya ketika berhasil dihubungi, Minggu (20/4/2024).
Djamu mengatakan, selain tentunya membutuhkan popularitas yang tinggi, kenyataannya biaya (cost) politik yang besar tentu saja memiliki peranan sangat penting bagi para bacalon. Apalagi kini ada banyak peminat, termasuk kandidat yang melalui proses penjaringan partai politik.
“Dari sekian banyak calon, pada akhirnya yang tampil hanya beberapa pasang saja, yaitu seseorang yang memiliki elektabilitas tinggi dari hasil survei resmi lembaga survei profesional. Juga yang paling penting orang yang memiliki dana memadai,” ujarnya.
Meskipun begitu, kata dia terkait ongkos politik tentu saja hal ini dapat disiasati, lantaran Undang-undang mengatur jika calon memungkinkan untuk menerima skema sumbangan dari pihak luar, dengan besaran tertentu.
“Bahwa dari perseorangan maksimal Rp250 juta, dari badan hukum maksimal Rp750 juta. Apabila dihitung secara matematis, kurang lebih Rp10 miliar yang harus disediakan pasangan calon untuk membiayai berbagai kegiatan di Pilkada 2024,” tutur Djamu.
Dari pengalamannya, Djamu menjelaskan bahwa pada setiap Pilkada, dalam proses penjaringan bakal calon oleh partai politik ini selalu memunculkan isu kurang sedap.
Hal ini berkaitan dengan mahar politik yaitu dana besar yang wajib disediakan sedari awal oleh para kandidat calon, tentu saja kata Djanu ini erat kaitannya dengan tarif yang disematkan pada setiap kursi DPRD yang dimiliki oleh setiap partai.
“Istilahnya disebut mahar politik, yang sebetulnya menurut UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sangat dilarang dan wajib dihindari oleh berbagai pihak. Yang dibolehkan adalah biaya politik berupa dana operasional,” katanya.
Djanu menjelaskan, maksud biaya politik disini adalah untuk dana operasional, untuk membiayai kegiatan mesin politik, baik itu melalui kegiatan partai, tim sukses ataupun relawan secara berjenjang, bukan biaya yang dibutuhkan dalam kaitannya dengan dukung-mendukung. (eri)
Discussion about this post